Rangsang, Pabrikan Membangun R&D Evaluasi Tata Niaga Baja

Loading

Laporan: Redaksi

ilustrasi

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Para pelaku usaha dan pengamat menyarankan beberapa langkah untuk mengatasi mahalnya harga bahan baku industri otomotif, seperti baja. Di antaranya, mengevaluasi sistem tata niaga baja dan merangsang pabrikan di luar negeri membangun pusat riset dan pengembangan atau R&D di Indonesia.

Demikian petikan wawancara tubasmedia.com dengan Sekjen Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Noegardjito, Deputy Associate Director PT Hino Motors Manufacturing Indonesia, Kristijanto, pengamat industri otomotif, Soehari Sargo, serta Ketua Koperasi Industri Komponen Otomotif (KIKO) Indonesia, M. Kosasih, di Jakarta, pekan lalu.

Sekjen Gaikindo Noegardjito berpendapat, masalah harga baja dapat dipecahkan melalui upaya evaluasi sistem tata niaga dan distribusinya. Kemudian, memecahkan “pos tarif bea masuk” yang berpotensi jadi “pelarian pos tarif” serta mendorong dan mempercepat investasi logam dasar, baik besi baja (ferro) maupun non-ferro (aluminium, tembaga).

Ia mengatakan, harga bahan baku logam, termasuk baja, yang banyak dipakai oleh industri otomotif, sebenarnya mengacu pada harga internasional. Tapi, kenyataannya, harga baja di Indonesia termasuk termahal di ASEAN.

Dikemukakan, penyebabnya, antara lain, kecenderungan mata rantai pasar yang panjang, adanya perlindungan, berupa tarif bea masuk, padahal jenis baja yang dilindungi itu belum diproduksi di dalam negeri, serta lemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Ia juga mengatakan, perlu diidentifikasi bahan baku tertentu yang belum dibuat oleh lokal, antara lain, baja canai dingin (CRC/S) dan wire rod/bar, plastik, dan karet sintetis.

Pola Insentif

Sementara itu, Kristijanto mengharapkan pemerintah merangsang pabrik otomotif atau kendaraan bermotor (KBM) di Jepang dan non-Jepang untuk membangun dan atau memindahkan R&D-nya ke Indonesia, sehingga industri komponen akan bertindak hal yang sama. Pada gilirannya nanti, ketika skala ekonomis tercapai, strata industri terdalam, yaitu industri bahan baku, akan dibangun dengan sendirinya. Saat itulah, kita baru benar-benar menguasai industri KBM secara kompetitif.

Ia mengatakan, pengembangan industri KBM di Indonesia pada pertengahan 1970-an beriringan dengan kebijakan pengembangan industri komponen/penunjang. Pola mandatori komponen yang harus dibuat di dalam negeri pada tahun yang telah ditetapkan dalam kebijakan pemerintah itu pada awalnya dijalankan secara disiplin dan diawasi ketat oleh pemerintah.

Dikemukakan, lanjutan kebijakan pengembangan industri KBM dan komponennya melalui pola insentif, sejak 1993, yang memberlakukan besaran bea masuk impor berdasarkan capaian tingkat kandungan lokal. Pada saat itu, industri bahan baku komponen tumbuh pesat dan secara bertahap menjadi pengembangan industri pengolah bahan baku, seperti casting, die casting, dan forging.

Tahap selanjutnya yang harus dilakukan lebih dalam lagi, membangun industri bahan baku, baik berupa baja karbon, baja panduan, aluminium, syntetic rubber, plastik, dan lain-lain. Tapi, semua itu terputus ketika terjadi krisis ekonomi pada 1998, di mana hampir semua tatanan industri terpengaruh.

Menurut Kristijanto, ketika ditetapkan deregulasi liberalisasi perdagangan pada 1999 tidak ada lagi kebijakan yang jelas mengatur pengembangan industri komponen KBM, ditambah lagi makin mengecilnya jumlah APM yang melakukan kegiatan industri, karena pintu impor KBM utuh dibuka selebar-lebarnya, hampir tanpa batas. Hingga sekarang industri komponen masih mengandalkan bahan baku impor, yang jelas dari sudut harga tidak kompetitif lagi.

Mengenai bea masuk impor bahan baku, dikemukakan, sebenarnya sampai sekarang telah banyak insentif, berupa pembebasan bea masuk impor. Tapi, karena keterikatan dengan harga barang impor dan rentannya posisi rupiah terhadap mata uang asing, maka manfaat insentif itu menjadi tidak signifikan lagi.

Sedang terkait dengan biaya logistik, menurut Kristijanto, di Jabodetabek khususnya, menjadi salah satu yang termahal di dunia, terutama karena tidak efisiennya transpor darat akibat kemacetan arus lalu lintas.

Kaji Ulang Strategi

Pengamat industri otomotif, Soehari Sargo, berpendapat, strategi pengembangan industri otomotif nasional perlu dikaji ulang dan ditetapkan kebijakan yang berpihak pada Indonesia, dalam upaya memecahkan kendala berupa mahalnya harga bahan baku.

Ia mengatakan, secara garis besar industri bahan baku harus direstrukturisasi. Untuk itu, aturan penanaman modal, insentif, dan prioritas harus berpihak ke Indonesia. Hal-hal tersebut tidak terlepas dari faktor politik, – pemerintah dan DPR -, lingkungan, sosial – politik, dan lain sebagainya. Faktor lain, infrastruktur, energi, etos kerja, produktivitas, dan lainnya harus ditingkatkan. Sedang menyangkut bea masuk bahan baku, menurutnya, tidak ada masalah, karena sudah nol persen.

Dikemukakan, langkah-langkah itu diperlukan mengingat mata rantai struktur industri otomotif masih lemah. Baja khusus dan aluminium masih diimpor. Fitur dan software juga masih didatangkan dari negara lain. Selain itu, kemampuan desain masih dikuasai asing.

Ketua KIKO, M. Kosasih, mengakui, pengadaan bahan baku atau material masih menjadi kendala dalam upaya pengembangan industri otomotif nasional, terutama yang dihadapi industri kecil dan menengah (IKM).

Dikemukakan, sekitar 60 persen unit komponen industri otomotif masih diimpor, termasuk steel plate. Ia berharap pemerintah memprioritaskan pembangunan pabrik steel plate, sehingga industri dalam negeri mampu mandiri. (ender)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS