Redakan Konflik Laut China Selatan

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

Ilustrasi

HONOLULU, (Tubas) – China dan Amerika Serikat (AS), dua negara yang berpengaruh di Asia-Pasifik mengadakan pertemuan konsultasi mengenai Asia-Pasifik di Honolulu, Hawaii, Sabtu (25/6) setelah terjadinya ketegangan di Laut China Selatan belakangan ini. Potensi konflik itu muncul karena banyak negara mengklaim perairan tersebut sebagai miliknya.

Tentu beberapa negara itu mengklaim perairan tersebut atas dasar dan argumentasi negaranya masing-masing, seperti China, Vietnam, Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Masing-masing negara itu mengklaim berhak atas wilayah perairan Laut China Selatan. Di balik itu, ternyata mereka memperebutkan cadangan minyak yang tidak sedikit di wilayah itu.

Menurut perkiraan Lembaga Informasi Energi Amerika Serikat, kawasan Laut Cina Selatan yang terdiri atas Kepulauan Spratley dan Paracel itu memilki cadangan minyak 213 miliar barel, atau 10 kali cadangan minyak AS. Namun para ilmuwan AS memperkirakan hanya 28 miliar barel.

Perairan itu juga merupakan jalur utama pelayaran di wilayah itu dan merupakan sumber ikan yang kaya. Karena sumber daya alam dan jalur pelayaran yang strategis itu, memang pantaslah wilayah tersebut menjadi rebutan sejak berabad-abad lalu. Hal itu pulalah yang dapat menyebabkan konflik di Laut China Selatan.

Keenam negara tersebut memperebutkan Kepulauan Spratley, sedangkan Kepulauan Paracel terutama menjadi rebutan antara China dan Vietnam. Vietnam menyatakan sudah aktif di dua kepulauan itu sejak abad ke-17 dan dapat membuktikannya dengan dokumen, sementara Beijing mengklaim sudah menguasai kepulauan itu sejak 2.000 tahun lalu. Padahal Vietnam mengatakan, hingga tahun 1940-an China tak pernah mengklaim.

Ketika China mengklaim seluruh perairan itu, maka kelima negara lain itu menjadi marah dan situasi menjadi tegang. Sebab itu, pertemuan di Honolulu itu merupakan upaya untuk meredakan situasi agar tidak mengarah ke konflik walaupun secara terselubung tampaknya AS mendukung sikap Vietnam dan Filipina.

Dalam pertemuan di Honolulu, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Masalah Asia Timur dan Pasifik, Kurt Campbell meminta kepada China untuk meredakan ketegangan di kawasan itu. Padahal, sebelumnya China yang berang meminta AS agar tidak ikut campur.

Campbell hanya mengatakan, “kita semua berkepentingan untuk tetap menjaga dan memelihara perdamaian serta stabilitas di sana. Kita juga ingin dialog di antara pihak yang terlibat.”

Pada sisi lain, China terlihat agresif mengembangkan persenjataan termasuk membangun kapal induk dan tampak bernafsu menguasai wilayah itu. Sebab itu dalam pertemuan tersebut kedua belah pihak membahas secara rinci soal keamanan maritim Laut Cina Selatan. “Kami menekankan soal ekspansi militer China yang mengkhawatirkan banyak pihak,” katanya.

Sementara itu partnernya dari China, Wakil Menteri Luar Negeri China, Cui Tian-kai tidak mengadakan konferensi pers. Namun di Beijing ia mengatakan, pemerintah China sama sekali tidak memprovokasi. Cui mengingatkan kalau AS ingin berperan menuntaskan sengketa, AS harus tahan diri dan tidak memengaruhi negara lain.

Hal itu kemudian ditanggapi Menlu AS Hillary Clinton yang mengaku khawatir dengan perilaku agresif China dan memicu insiden di kawasan sengketa itu. Kondisi itu sangat membahayakan perdamaian dan stabilitas Laut China Selatan.

Di kawasan kaya minyak itu, sudah beroperasi sejumlah perusahaan seperti Exxon Mobil Corp., Talisman Energy Inc., dan Vietnam Oil and Gas Group. (apul)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS