Rencana Pengenaan Pajak Progresif Produk CPO, Bentuk Arogansi Perancis

Loading

index

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli mengatakan rencana pengenaan pajak progresif untuk semua produk berbasis minyak kelapa sawit oleh Prancis, dinilai sebagai kebijakan anti crude palm oil (CPO) yang tidak masuk akal, bentuk arogansi Perancis.

“Rencana kebijakan itu menunjukkan kecongkakan luar biasa dan sangat tidak reasonable. Kalau Perancis tetap memaksa akan menerapkan pajak progresif terhadap impor CPO tersebut, bisa membahayakan hubungan kedua negara yang telah terjalin sangat baik dan bersahabat sejak kemerdekaan Indonesia,” ujar Rizal Ramli dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (4/2/2016).

Rencana penetapan pajak tersebut terdapat dalam rancangan amandemen Undang-undang No. 367 tentang Keanekaragaman Hayati yang diputuskan Senat Prancis pada 21 Januari. Dalam RUU tersebut, ditempelkan pajak progresif untuk produksi sawit yang mulai berlaku pada 2017.

Rinciannya, pajak sebesar 300 euro/ton pada 2017, 500 euro/ton tahun 2018, dan 700 euro/ton untuk 2019. Pajak itu naik lagi menjadi 900 euro/ton pada 2020. Setelah 2020, pajaknya akan ditetapkan oleh Kementerian Keuangan Perancis.

Khusus untuk minyak kelapa sawit yang digunakan untuk produk makanan, RUU tersebut menetapkan adanya tambahan bea masuk sebesar 3,8%. Sedangkan untuk minyak kernel yang digunakan untuk produk makanan akan bea masuknya 4,6%. Anehnya, pajak itu tidak ditetapkan pada biji rapa, bunga matahari, dan kedelai atau minyak nabati yang diproduksi di Prancis.

Rizal Ramli yang juga Dewan Pengarah Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) menyatakan amandemen pajak CPO tersebut menunjukkan langkah diskriminatif terhadap produk Indonesia sebagai produsen terbesar sawit. Saat ini pajak impor CPO di Perancis sebesar 103 euro/ton. Dengan kenaikan pajak 300 eruo atau sekitar US$430/ton, maka dipastikan akan mematikan petani sawit dan produsen CPO Indonesia.

“Sikap sangat tidak bersahabat dari Perancis yang berlebih-lebihan itu jelas dan dengan sengaja beritikad mematikan industri sawit Indonesia. Rencana tersebut akan mematikan sumber kehidupan 2 juta petani kecil sawit Indonesia dengan area lahan kurang dari 2 ha, dan 400.000 petani kecil sawit Malaysia. Untuk diketahui, industri sawit kita memperkerjakan 16 juta orang dan menghasilkan ekspor senilai US$19 miliar,” katanya.

Menurutnya, rencana pengenaan pajak progresif terhadap impor CPO sebetulnya bertentangan dengan prinsip dasar rakyat Perancis, liberty, equality, fraternity, atau kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan, khususnya aspek persamaan dan persaudaraan. Dengan prinsip dasar tersebut, pada hakikatnya Prancis sangat memperhatikan aspek humanisme dan kesejahteraan, termasuk kesejahteraan dan apsek kemanusiaan rakyat negara berkembang.

Kebijakan tersebut juga bertentangan dengan Amsterdam Declarationin in Support of a Fully Sustainable Palm Oil Supply Chain by 2020. Deklarasi ini ditandatangani di Amsterdam pada 7 Desember 2015 oleh wakil-wakil dari Denmark, Jerman, Belanda, Inggris, dan Perancis sendiri.

Pemerintah Indonesia, dia melanjutkan, menilai kebijakan yang sangat tidak bersahabat tersebut melanggar ketentuan World Trade Organization (WTO) dan General Agrement on Tariff and Trade (GATT) tahun 1994, yang pada dasarnya menyatakan UU suatu negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap impor produk sejenis.

Perlu diketahui, pemerintah Indonesia telah bekerja keras untuk melaksanakan standar yang berdasarkan pertimbangan ekologi dalam mengelola industri sawit. Upaya tersebut telah dituangkan dalam Indonesian Sustinable Palm Oil (ISPO).

Dengan menaikkan pajak progresif CPO, Perancis bermaksud memasukkan hasilnya ke social security rakyat Prancis. Itulah sebabnya Pemerintah Indonesia upaya tersebut tidak adil, diskriminatif, sekaligus ironis, karena 2 juta petani kecil sawit Indonesia harus mensubsidi social security Prancis.

“Sehubungan dengan itu, Indonesia minta kearifan pemerintah dan parlemen Prancis untuk menghentikan proses amandemen UU nomor 367 tersebut. Pertimbangan ekologi dan lingkungan hidup, tidak boleh digunakan sebagai alat kebijakan proteksionis yang diskriminatif dan tidak fair,” tegasnya. (red)

CATEGORIES
TAGS