Repatriasi dan Tax Amnesty

Loading

tax

Oleh: Fauzi Aziz

DI semua media kini ramai diberitakan bahwa Presiden dan Menteri Keuangan berbeda pendapat tentang tax amnesty. Kalau dianggap ada perbedaan tentu wajar karena sudut pandangnya memang berbeda. Presiden lebih mengharapkan penerapan kebijakan tax amnesty sekaligus dipakai sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk menarik investasi.

Dalam konteks ini maksudnya adalah agar dana yang diparkir di luar negeri pulang kampung (mudik) yang dalam istilah ekonomi biasa disebut repatriasi. Jadi, presiden mempunyai dua sasaran sekaligus, yakni pajak diampuni, uangnya balik sehingga dapat dimanfaatkan untuk investasi.

Namun jika tax amnesty difahami secara tekstual atau dilihat dari sudut pandang teknis perpajakan, maka tax amnesty memang bisa difahami sebagai kebijakan perpajakan yang murni ditujukan untuk memberikan pengampunan pajak karena para pihaknya selama ini telah mengemplang pajak. Memang pada saat tax amnesty diberikan akan terjadi “peningkatan penerimaan pajak” selama periode pengampunan berjalan.

Sesudah itu terjaring, maka ada berpendapat penerimaan pajak akan kembali berjalan normal artinya akan kembali mengikuti tata cara perpajakan yang diatur dalam peraturan perpajakan. Di dalam sistemnya tentu ada cara untuk melakukan ekspansi dan intensifikasi pemungutan pajak, sehingga tax rationya makin meningkat karena kita memerlukan dana pembangunan yang sangat besar, dimana pajak menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan.

Dilihat dari sisi kebutuhan, memang tax amnesty cenderung bersifat sebagai “triger” agar pengemplang pajak dapat memenuhi kewajiban pajaknya sesuai aturan pajak di Indonesia. Jadi tidak ada yang salah. Apa yang dikehendaki presiden benar secara strategis dan apa yang dijelaskan Menteri Keuangan juga benar secara teknis.

Dan kalau kita baca dalam draft RUU tax amnesty yang pernah dimuat di berbagai media sebenarnya apa yang menjadi perhatian presiden terwadahi, yakni dana repatriasi yang masuk akan difasilitasi agar dapat diinvenstasikan melalui beragam instrumen investasi seperti dalam SUN, obligasi dan pembiayaan insfrastruktur.

Dengan beragam pendapat yang masih terus bergulir di ruang publik mengenai repartriasi dan tax amnesty, kita mendapatkan pembelajaran yang baik bahwa ekonomi Indonesia memang perlu tumbuh. Penulis mencoba memahami satu agregasi yang bersifat umum bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia memerlukan pembiayaan yang besar.

Untuk membiayai pembangunan infrastruktur saja dalam 5 tahun (2015-2019) pemerintah memerlukan dana Rp 5.000 triliun artinya kita butuh Rp 1.000 triliun/tahun. Dalam konteks ini, “repatriasi”, investasi” dan “peningkatan penerimaan pajak” menjadi keniscayaan di negeri ini.

Repatriasi dan Investasi akan membantu terciptanya stabilitas ekonomi. Dan jika yang masuk diinvestasikan langsung ke sektor produktif, maka akan terjadi peningkatan produksi secara masif yang akan berdampak pada penerapan tenaga kerja dan peningkatan daya beli masyarakat. Jika produksinya diekspor, cadangan devisa akan meningkat. Khusus mengenai kebijakan perpajakan, sejatinya yang kita perlukan adalah “reformasi per pajakan” (tax reform), dimana aturan tax amnesty yang termasuk diatur di dalamnya. Reformasi perpajakan yang memungkinkan sistem perpajakan nasional menjadi lebih kompetitif sehingga repatriasi dan investasi mengalir masuk ke dalam negeri.

Iklim investasi penting dan iklim perpajakan juga penting agar repatriasi dan investasi masuk ke Indonesia. Jika upaya ini yang akan kita tuju, maka akan menjadi lebih baik jika pemerintah segera memasukkan rencana revisi berbagai UU pajak dan juga UU tentang Penanaman Modal, serta UU tentang Lalu Lintas Devisa dalam waktu bersamaan agar Indonesia memiliki kebijakan repatriasi dan investasi yang komprehensif.

Kita tinggalkan tradisi pembuatan peraturan perundangan yang fragmentatif karena potensi  komplikasi kebijakan gampang terjadi. Breaktrough penting dilakukan, tetapi harus berjalan dalam koridor semangat reformasi dalam arti menata kembali aturan main yang lebih pas. Jangan melakukan breaktrough dengan menetapkan Perpres, tapi ternyata Perpresnya tidak selaras dengan UU. (penulis adalah pemerhati masalah ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS