Sapi.. Oh ..Sapi..

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

KEMENDAG meragukan kalau kelangkaan daging sapi disebabkan karena kartel. Sementara itu, DPR membuat opini politik bahwa perlu lembaga otoritas pangan untuk cegah praktek kartel. Kadin Indonesia juga menyatakan praktek kartel ditata niaga sapi dan daging sapi telah terjadi. Akibatny praktek kartel telah menimbulkan harga naik.

Mungkin masih banyak lagi yang mau kontribusi soal kartel ini. Yang memprihatinkan justru, publik seakan-akan “digiring” ke ranah yang sebenarnya tidak tepat karena masalah sapi dan dagingnya langka karena kartel. Padahal inti pokok masalahnya adalah produksi dan produktifitas ternak sapi yang rendah.

Datanya misleading dan sejumlah penyebab lainnya. Gugatan publik harusnya dialamatkan ke Kementrian Pertanian lalu dipertanyakan mengapa progam sapinisasi tidak berhasil. Opini ini mencoba melihat mengapa hal itu terjadi. Beberapa diantaranya adalah : 1) Progam swasembada adalah hanya sebuah branding yang isinya sebenarnya “berlawanan” atau “paradoks” karena swasembada digerakkan dengan persoalan produksi dan produktifitas yang rendah. Akibatnya swasembada hanya tinggal kenangan.

Contoh, holtikultura, kedelai, jagung, ternak dan tebu hampir semuanya terindikasi terkena “penyakit” produksi dan produktifitas rendah. Sektor pertanian dalam arti luas di negeri ini tidak dikembangkan berdasarkan pendekatan agro bisnis, tapi lebih banyak dikembangkan dengan pola pertanian rakyat.

Dengan pola yang seperti ini tidak usah kaget kalau anggaran Kementrian Pertanian tahun 2013 mencapai Rp 13 triliun lebih, tapi output ekonominya rendah. Berdasarkan data.BPS tahun 2012, sektor pertanian dalam arti luas hanya tumbuh 3%-4% dan ini terjadi hampir selama 10 tahun lebih.

Pertumbuhan rendah adalah cermin dari gambaran produksi dan produktifitas rendah. 3) Akibat kondisi yang seperti itu, impor tidak bisa dielakkan untuk mengamankan pasokan dan mengendalikan inflasi karena kebutuhan bahan pangan, baik untuk industri maupun konsumsi masyarakat meningkat tajam seperti deret ukur dan sisi pasokannya tumbuh seperti deret hitung.

4) Kalaupun swasembada sapi atau komoditi pangan pada umumnya berhasil, pengangkutan sapi dari sentra produksi (misal dari NTB) ke Pulau Jawa sangat high cost. Tahun 80-an atau 90-an, kalau tidak salah Bank Dunia pernah melakukan study bahwa sapi lokal harganya terbebani oleh berbagai biaya resmi atau siluman yang jumlahnya bisa mencapai 2/3 dari harga sapinya itu sendiri.

Akibatnya harga sapi lokal lebih mahal dari sapi impor. Inilah sekilas gambaran tentang persapian di negeri ini. Ada soal produktifitas yang rendah, ada juga soal biaya distribusi yang relatif mahal. Impor pangan strategis untuk pengamanan pasokan dan distribusi sebaiknya pemerintah menunjuk Bulog untuk menanganinya. Perum Bulog dikembalikan peran kelembagaannya tidak berbasis korporasi, tapi menjadi seperti LPND, dari pada membentuk lembaga baru seperti opininya DPR Komisi IV. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS