Supply Side Kalah Perang dengan Kartel

Loading

210311-ft-fauzi

Oleh: Fauzi Aziz

KLASIK, tak berdaya, selalu kalah perang ketika harga kebutuhan pokok jelang bulan puasa dan lebaran yang selalu mengalami kenaikan. Di pasar hanya ada dua yang bisa saling mempengaruhi harga, supply dan demand. Tapi peran keduanya tidak pernah berhasil membuat stabilitas harga di pasar. Ini pertanda mekanisme pasar mengalami gangguan atau distorsi akibat ada invisible hand yang melakukan aksi ambil untung ketika permintaan bahan pokok meningkat.

Pasokan barang dikendalikan oleh invisible hand yang dapat bertindak sebagai pelaku kartel. Mereka itu siapa, KPPU mestinya tahu. Demikian pula Kemendag dan Kementan mestinya sama- sama tahu siapa mereka. Apa kah mereka bisa disebut sebagai “penjahat”, maka KPPU-lah yang paling tahu. Supply side selalu kalah perang dengan pemain kartel.

Dan pemegang otoritas selalu tidak bisa berbuat banyak jika sang pemenang berhasil menjadi pengendali harga kebutuhan pokok di pasar. Sementara para konsumen dibuat menderita akibat naiknya harga kebutuhan pokok. Teori pasar, atau teori ekonomi tidak lagi bisa berbunyi ketika di pasar terjadi anomali.

Paling banter akan keluar jurus pamungkas dari pemegang otoritas, yakni lakukan Operasi Pasar (OP) dan pemerintah segera membuka kran impor daging, bawang merah/putih,  raw sugar dan bahan kebutuhan bahan pokok lainnya. Begitu kran impor akan dibuka, sontak pasar uang langsung bereaksi dan yang terjadi adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah.

Dalam situasi yang demikian, maka pemegang otoritas mengalami kekalahan dua kali, yakni di pasar uang dan di pasar barang karena kedodoran dalam menjaga stabilitas ekonomi akibat kalah perang dengan invisible hand,yang notabene adalah para kartelis. Kekalahan yang bertubi-tubi ini membawa akibat posisi masyarakat paling dirugikan karena posisi tawarnya lemah.

Kita tidak tahu persis bagaimana para kartelis selalu menjadi pemenang. Kita juga tidak pernah tahu mengapa para pemegang otoritas sebagai pengendali kebijakan ekonomi pemerintah selalu tidak berkutik menghadapi perilaku kartel.

Pertanyaannya mengapa tidak berkutik. Ini juga bersifat klasik. Pertanyaan semacam ini selalu muncul berulang. Masyarakat sebenarnya mengharapkan agar pemerintah mau dan mampu menerapkan kebijakan injak kaki kepada para penimbun bahan kebutuhan pokok. Tapi boro-boro injak kaki para pemain kartel. Kakinya para pemegang otoritas yang biasanya justru diinjak oleh para invisible hand.

Sudah menjadi rahasia umum di perdagangan gula ada istilah seven samurai sebagai penguasa bisnis gula di dalam negeri. Di daging kurang lebih sama. Dan bukan menjadi rahasia umum lagi, manakala mereka berteman dekat dengan pemegang otoritas, sehingga tidak salah kalau publik menduga terjadi KKN. Supply side dan demand side mandul.

Berarti mekanisme pasar juga mandul. Presiden sudah memerintahkan kepada menteri terkait agar harga daging sebelum lebaran harganya bisa di bawah Rp 80 ribu per kg. Sambil memberikan perbandingan bahwa harga di daging di Malaysia dan Singapura hanya Rp 50 ribu per kg. Mengapa kedua negara tersebut berhasil menjaga stabilitas harga bahan pokok.

Dalam hal yang terjadi di Malaysia, negeri jiran ini menjalankan kebijakan kontrol harga (price control) sebagai bentuk intervensi pemerintah untuk menjaga stabilitas harga. Indonesia tidak mempunyai instrumen semacam itu, kecuali OP terbatas karena pemegang otoritas tidak berani melakukan tindakan injak kaki kepada invisible hand yang digdaya, sampai mereka yang justru berani menginjak kakinya oknum pemegang otoritas.

Di dalam berbagai pemberitaan memang ramai disampaikan bahwa pemerintah berencana akan impor daging, bawang merah dan komoditas lainnya.Tapi kapan dan darimana asalnya, jumlahnya berapa dan siapa yang akan mengimpor masih di-rapat-kan. Tapi nilai tukar rupiah sudah melemah yang kini berada pada kisaran Rp 13.500/dolar AS.

Ketika impor dilakukan karena diperoleh di pasar spot belum tentu akan diperoleh harga yang terbaik, apalagi kursnya sudah naik duluan. Semoga pemerintah berhasil menjadi dewa penyelamat dalam mengendali kan harga bahan pokok di dalam negeri dan tidak takut injak kakinya para pemain kartel tanpa harus takut ancaman mereka. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

CATEGORIES
TAGS