Tentang Aborsi, KUHP dengan UU Kesehatan Berbeda

Loading

Oleh: Dr Jimmy Tambunan SpOG

Ilustrasi

Ilustrasi

ABORSI (pengguguran kandungan) sampai sekarang masih menimbulkan pro dan kontra maupun perdebatan yang tidak ada akhirnya, baik oleh pihak yang mendukung aborsi maupun yang kontra aborsi. Perdebatan yang tidak kunjung mendapatkan titik temu ini mengakibatkan munculnya penganut paham pro-life yang berupaya mempertahankan kehidupan Janin dan penganut paham pro-choice yang menginginkan aborsi boleh dilakukan disebabkan perempuan mempunyai hak untuk memelihara kesehatannya dalam menentukan hak kesehatan reproduksinya.

Aborsi adalah cara tertua mengatur kehamilan dan ini sudah sejak dahulu kaum lelaki maupun negara mengatur kehamilan itu. Aristoteles dan Plato mengatakan menjadi (melahirkan anak) adalah kewajiban ibu, baik terhadap suaminya maupun terhadap Negara.

Dari perundang-undangan yang berlaku di Indonesia hak aborsi dibenarkan secara hukum jika dilakukan karena adanya alasan atau pertimbangan medis atan kedaruratan medis. Dengan kata lain, tenaga medis mempunyai hak untuk melakukan aborsi bila dan pertimbangan media atau kedaruratan media dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu hamil.

Berdasarkan UU Kesehatan RI No. 36 Thn 2009, Pasal 75 bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan aturan ini diperkuat dengan Pasal 77 yang berisi pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 mengenai tindakan aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab sera bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Istilah “aborsi?’ yang berasal dari kata abortus (latin), “kelahiran sebelum waktunya. Sinonim dengan itu dikenal juga istilah “kelahiran yang prematur” atau miskraam (Belanda), keguguran. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) disebut, perempuan tidak diperkenankan melakukan tindakan aborsi. KUHP dengan tegas mendukung mempertahankan kehidupan janin. Jadi melihat kedua peraturan perundang -undangan yang ada mengenai aborsi lebih mengutamakam kehidupan janin (pro life).

Walaupun ada perbedaan antara KUHP dengan UU Kesehatan No.36 tahun 2009 tentang aborsi, tetapi dalam Undang-undang kesehatan No.36 tahun 2009 tenaga media diperbolehkan untuk melakukan aborsi legal pada perempuan hamil karena alasan medis dengan persetujuan perempuan yang bersangkutan disertai suami dan keluarganya.

Masalah lain yang belum terpecahkan atau berkembang dan berlakunya kedua peraturan perundang-undangan adalah perlindungan hukum terhadap perempuan mengenai fungsi alat reproduksinya atau terjadinya pelanggaran terhadap hak reproduksi perempuan dari hidup janin hak atas informasi kesehatan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa perbedaan (diskriminatif) dan terjadinya tindakan aborsi tidak aman pada kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan dan masalah etik.

Aborsi sudah perlu mendapat perhatian melalui pengaturan yang lebih bijak untuk menghindari praktek aborsi tidak aman dan pemenuhan hak reproduksi perempuan maupun hak azasi perempuan dan janin. Legalisasi aborsi perlu diperhatikan lebih bijak tetapi bukan dalam pengertian memberikan liberalisasi aborsi.

Meskipun aborsi secara hukum terlarang, tetapi kenyataannya aborsi masih banyak dilakukan oleh perempuan dengan berbagai alasan disebabkan peraturan dan hukum yang ada kurang akomodatif terhadap alasan-alasan yang memaksa perempuan melakukan tindakan aborsi (Pro Choice) , di seluruh dunia 500.000 perempuan meninggal akibat kehamilan, persalinan maupun abortus kriminalis. Sekitar 20 juta pertahun terjadi unsafe abortion.

Khususnya di Indonesia sekitar 750 000-1.000.000 pertahun dilakukan unsafe abortion, 2.500 diantaranya mati berakibat kematian (11,1%). Hal ini sesuai dengan data WHO yang menyatakan, 15-50% kematian ibu disebabkan oleh pengguguran kandungan yang tidak aman.

Dalam hukum positif di Indonesia, pengaturan tindakan aborsi terdapat dalam dua undang-undang yaitu KUHP pasal 299, 346, 347, 348, 349 dan 535 yang dengan tegas melarang aborsi dengan alasan apapun serta dalam UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 75,76,77,78 melarang aborsi tetapi masih mengijinkan tindakan aborsi atas indikasi medis dan trauma psikis dengan syarat tertentu.

Tindakan aborsi menurut KUHP di Indonesia dikategorikan sebagai tindakan kriminal atau dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Pasal-pasal KUHP yang mengatur hal ini adalah pasal 229, 346, 347, 348, 349 dan 535. Menurut KUHP, aborsi merupakan: Pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium perkembangannya sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu).

Pasal 346: “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Pasal 347: (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349 : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal 535 : Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Meskipun dalam KUHP tidak terdapat satu pasal pun yang mernperboiehkan seorang dokter melakukan abortus atas indikasi medik, sekalipun untuk menyelamatkan jiwa ibu, dalam prakteknya dokter yang melakukannya tidak dihukum bila ia dapat mengemukakan alasan yang kuat dan alasan tersebut diterima oleh hakim (Pasal 48).

Berdasarkan pasal-pasal KUHP di atas berarti apapun alasannya diluar alasan medis perempuan tidak boleh melakukan tindakan aborsi. Kalau dicermati ketentuan dalam KUHP tersebut dilandasi suatu pemikiran atau paradigma bahwa anak yang masih dalam kandungan merupakan subjek hukum sehingga berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Juga apabila dilihat dari aspek hak asasi manusia bahwa setiap orang berhak untuk hidup maupun mempertahankan hidupnya sehingga pengakhiran kandungan (aborsi) dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Dengan kata lain paradigma yang digunakan adalah paradigma yang mengutamakan hak anak (pro life). Oleh karena itu dalam KUHP tindakan aborsi dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap nyawa.

Pada kehamilan yang tidak diinginkan aborsi yang dilakukan umumnya adalah Abortus Provokatus Kriminalis dengan beberapa alasan seperti; Kehamilan di luar nikah, masalah beban ekonomi, ibu sendiri sudah tidak ingin punya anak lagi akibat incest, alasan kesehatan dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan aborsi tidak aman (Unsafe Abortion) adalah penghentian kehamilan yang dilakukan oleh orang yang tidak terlatih/kompeten dan menggunakan sarana yang tidak memadai, sehingga menimbulkan banyak komplikasi bahkan kematian. Aborsi yang tidak aman adalah penghentian kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih, atau tidak mengikuti prosedur kesehatan atau kedua-duanya (Definisi WHO).

Umumnya aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan yang memadai. Apalagi bila aborsi dikategorikan tanpa indikasi medis, seperti korban perkosaan, hamil diluar nikah, kegagalan alat kontrasepsi dan lain-lain. Ketakutan dari calon ibu dan pandangan negatif dari keluarga atau masyarakat akhirnya menuntut calon ibu untuk melakukan pengguguran kandungan secara diam-diam tanpa memperhatikan resikonya.

Unti perlu dilakukan Yudisial review Undang-Undang Kesehatan khususnya mengenai pasal-pasal yang bunyinya tidak tegas.(penulis merupakan Kandidat Magister Hukum Kesehatan UNIKA Soegijapranata).

CATEGORIES
TAGS