167 Juta Penduduk Tak Punya Akses ke Bioskop

Loading

Oleh: Willy Hangguman

Ilustrasi

BAGI Bangsa Indonesia, film tak sekadar karya seni. Film adalah karya seni budaya yang memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir-batin untuk memperkuat ketahanan nasional. Karena itu, negara bertanggung jawab memajukan perfilman.

Membaca peran film yang strategis itu, maka seharusnya akses penduduk kita untuk menikmati film terbuka lebar. Nyatanya, akses penduduk untuk menikmati film sangat rendah. Sampai pertengahan Agustus 2012, data dari Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), mengungkapkan, jumlah bioskop di Tanah Air saat ini 190. Jumlah layarnya 773 dan jumlah seat 151.380.

Sebagian besar bioskop berlokasi di seputar Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang. Sebelum Reformasi, Indonesia pernah memiliki sekitar 3.000 bioskop, namun sebagian besar mati karena susah mendapatkan pasokan copy film tepat waktu.

Akan tetapi, jumlah bioskop, layar, dan kapasitas tempat duduk yang sangat terbatas itu membuat penduduk Indonesia tidak bisa memenuhi kebutuhan menonton film di bioskop. Akses penduduk ke bioskop sangat rendah. Saat ini penduduk Indonesia sekitar 240 juta orang. Berapa yang memilih akses ke bioskop? Tidak kurang 167 juta atau 70,28 persen dari 237 juta penduduk Indonesia tidak memiliki akses ke bioskop.

Data dari Direktorat Pengembangan Industri Perfilman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Badan Pusat Statistik, baru-baru ini, mengungkapkan, dari 33 provinsi ada 10 provinsi (30,30 persen) dengan 24,36 juta penduduk yang sama sekali tidak memiliki bioskop.

Sepuluh provinsi tersebut adalah Aceh, Kepulauan Bangka-Belitung, NTB, NTT, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua da Papua Barat. Lalu, dari 498 kota/kabupaten di Tanah Air, 443 kota atau 88,96 persen tidak mempunyai bioskop. Rasio penduduk Indonesia per bioskop adalah satu bioskop untuk 1,24 juta, sedangkan rasio per layar adalah satu layar untuk 306.597 orang.

Lokasi Syuting

Sungguh ironi, beberapa provinsi yang sama-sekali tidak memiliki bioskop justru sering dijadikan lokasi syuting film. Film Laskar Pelangi (2008) karya Riri Riza mengambil lokasi syuting di Bangka Belitung. Ketika film ini meledak di bioskop dengan 4,6 juta penonton, penduduk Bangka Belitung justru tak bisa menyaksikan di bioskop. Pulau Sabang, Aceh, telah dijadikan lokasi syuting film Keumala (2012) karya Andi Pulungan. Lagi-lagi, penduduk pulau ini tak bisa menikmati film ini di bioskop, sementara penggemar film di Jakarta bisa menikmatinya di bioskop.

Papua juga menjadi lokasi syuting yang eksotis. Paling tidak di sana sudah beberapa film yang mengambil lokasi syuting, seperti Denias (2006) dan Di Timur Matahari (2012). Pulau Sumbawa pernah menjadi lokasi syuting film Serdadu Kumbang (2011) dan Timor, NTT, untuk film Tanah Air Beta (2010). Penduduk provinsi-provinsi ini tak bisa menikmati film-film yang disyuting di provinsi mereka di bioskop dan harus menunggu beberapa bulan saat ditayang oleh stasiun televisi.

Oleh karena itu, pemerintah perlu segera turun tangan untuk menggerakkan potensi di tengah masyarakat guna memperbanyak jumlah pembangunan bioskop di kota-kota di Tanah Air bila film dipandang sebagai salah satu karya seni untuk pembentuk karakter bangsa dan ketahanan budaya. Gerakan “Aku cinta film Indonesia” tidak akan jalan bila jumlah bioskop tidak bertambah dan menyebar di makin banyak daerah. ***

penulis adalah pengamat film

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS