Ada Apa dengan Film Indonesia?

Loading

Oleh: Willy Hangguman

Ilustrasi

TAHUN ini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu mencanangkan “Cinta Film Indonesia”. Ada apa dengan film Indonesia yang bangkit dengan semangat perjuangan saat dirintis Bapak Perfilman H. Usmar Ismail tahun 1950-an?

Gerakan mencintai film Indonesia jelas lahir dari kenyataan film Indonesia belum menjadi film favorit untuk ditonton di negerinya sendiri. Kenyataan ini bukan berangkat dari rasa pesimistis, tetapi fakta menunjukkan penonton film di Indonesia lebih senang dan lebih banyak menonton film impor, terutama dari Hollywood.

Tahun 2011, Direktorat Perfilman dan BPS melakukan survei. Hasilnya, jumlah penonton film Indonesia dari seluruh penonton film di Indonesia hanya 19,78%. Selebihnya, penonton film di Indonesia lebih suka menonton film impor (80,12%). Film impor yang paling digemari jelas yang berasal dari Amerika/Eropa (69,03 %), lalu film China/Hong Kong (6,72%), India (2,43%), dan lainnya 2,04%.

Sejalan dengan itu, film yang paling banyak diputar oleh bioskop di Tanah Air adalah film impor (71%) dengan rincian, film asal Amerika/Eropa 56,21%, China/Hong Kong 4,23 %, India 0,48%, dan lainnya 0,11%. Film Indonesia yang diputar oleh bioskop hanya 38,99%.

Mutu dan Bioskop

Kenapa film Indonesia justru kurang sekali diminati oleh masyarakatnya sendiri? Ada apa dengan film Indonesia? Pertama, karena mutu film Indonesia belum baik. Satu dua sudah bagus. Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi, pernah mengatakan, masyarakat Indonesia tidak pernah mengatakan jelek terhadap film yang kita produksi. Itu bukan budaya ketimuran. Mereka tidak seperti masyarakat Barat yang berani mengatakan terus-terang film jelek atau bukan.

Namun, masyarakat kita “menghukum” para pembuat film yang kurang memperhatikan mutu dengan tidak menonton filmnya. Itulah cara penghakiman masyarakat.

Sebaliknya, bila ada film yang bagus, pasti diserbu. Sebut saja film Laskar Pelangi, sebuah film pendidikan yang biasanya diramalkan tidak laku, ternyata laris manis. Film ini ditonton sekitar 4,6 juta orang. Tahun ini muncul beberapa film bermutu yang diserbu penonton seperti The Raid yang ditonton 1,8 juta orang. Kemudian tahun 2012, muncul film bagus seperti Negeri Lima Menara, Soegija dan Perahu Kertas. Penonton ramai-ramai datang ke bioskop untuk menyaksikan film-film bermutu itu.

Kedua, jumlah bioskop di Tanah Air masih terbatas. Film hanya ada di 47 kota/kabupaten dari 498 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Bahkan, ada 10 provinsi yang tidak memiliki satu pun bioskop. Kota-kota yang memiliki bioskop itu umumnya di Jawa, sedikit di Sumatera. Padahal, penonton terbanyak film Indonesia ada di daerah. Bila saja jumlah bioskop terdapat di hampir semua kota/kabupaten, maka pasar film Indonesia menjadi sangat luas.

Ketiga, film Indonesia juga harus bertarung melawan film impor yang secara fakta jauh lebih bermutu dan menarik, karena didukung sumber daya manusia yang jauh lebih mumpuni, teknologi terkini dan dukungan finansial yang besar. Sudah kalah dalam mutu, film Indonesia juga kalah dalam soal jumlah yang diputar oleh bioskop.

Bioskop selalu dibanjiri film impor dari tahun ke tahun. Sampai Agustus 2012, jumlah film impor dua kali lipat lebih banyak dari film nasional. Jumlah film impor 104 judul, sementara film Indonesia 53 judul. Tahun-tahun sebelumnya, perbandingan film Indonesia dan impor berkisar antara 1:2 atau 1:3.

Lantas bagaimana menggalang penonton agar mau menonton film Indonesia? Masyarakat perfilman perlu bekerja lebih keras lagi untuk menghasilkan lebih banyak film bermutu dan menarik untuk ditonton. Jalan untuk itu adalah pendidikan. Di Indonesia hanya ada satu perguruan tinggi perfilman, yaitu IKJ. Perguruan tinggi lainnya umumnya lebih memperhatikan soal broadcasting dan pertelevisian.

Pemerintah sudah saatnya membuat peraturan turunan dari UU Perfilman yang disahkan tahun 2009. Sudah tiga tahun peraturan pemerintah dari UU ini belum dibuat. Bahkan, Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang bertugas mendorong perkembangan perfilman dalam negeri, seperti yang diamanatkan UU Perfilman juga belum dibentuk. Undang-undang itu juga bahkan mengatur perbandingan film Indonesia dan impor yang diputar di bioskop adalah 60 : 40.

Kita perlu belajar dari negara lain yang ngotot membangun perfilman dalam negerinya, seperti, Korea Selatan, China, Jepang, dan India. Negeri-negeri itu sangat bangga dengan produk filmnya. Kebanggaan itu telah melecut para sineasnya untuk menghasilkan film bermutu. Masyarakatnya membayar dengan menonton film produksi negerinya.

Film-film Korea Selatan mampu bersaing dengan film blockbuster dari Hollywood. China melindungi film produksi negerinya dengan hanya membolehkan 20 judul film impor yang boleh masuk. India sangat selektif dengan film impor. Lantas bagaimana dengan kita? Bersediakah kita mencintai film Indonesia? Inilah pertanyaan untuk kita. Hanya kita yang bisa menjawabnya.***

Penulis adalah pengamat perfilman

CATEGORIES
TAGS