Site icon TubasMedia.com

Ancaman Ekonomi Adakah Dia?

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

 

PERTAMA, ancaman dalam konteks ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan) menjadi variabel pertama, yaitu faktor A. Setelah itu ada faktor kedua, yakni  Tantangan (T). Dan faktor ke tiga dan keempat, yaitu Hambatan (H),dan Gangguan (G). Faktor ATHG ini adalah niscaya dan penuh dinamika.

Dalam setiap siklus kehidupan di bidang apa saja, faktor ATHG nampaknya selalu muncul. Ia datang tidak diundang, tapi percayalah bahwa mereka itu ada, dan cenderung “tidak akan pernah tiada”. Mengapa demikian? Satu hal karena ATHG itu memang selalu ada dan hadir di setiap siklus kehidupan . Sebab itu, jangan coba mengabaikan adanya ATHG dalam peta geopolitik dan geoekonomi. Dan ATHG datang karena ulah manusia. Pun bisa pergi karena kerja otak yang waras dari manusia.

KEDUA, jika tidak ada ATHG, mungkin para intelijen di bidang apapun nggak ada kerjaannya. Pun demikian para analis juga akan menganggur jika tidak ada ATHG. Last but not least,  itulah mungkin sifat hakiki  dalam bekerjanya sistem kehidupan  bahwa hidup tanpa ATHG seperti ibarat masakan tanpa garam. hambar,  tawar, tidak menggugah selera dan paling parah menjadi malas mikir.

Berpikir kreatif, inovatif dan solutif akan mati suri. Jadi bersyukurlah ada ATHG karena dengan begitu otak kita tidak akan membeku , terpakai secara produktif untuk merespon ATHG yang selalu ada di tengah kehidupan, selama hayat masih di kandung badan.

Karena itu, kita butuh think tank yang mendapat tugas khusus menjawab permasalahan ATHG. Kementrian/ Lembaga sebaiknya punya lembaga think tank agar bisa menyiapkan seperangkat instrumen kebijakan dan progam guna merespon ATHG tersebut secara tepat.

KETIGA, ancaman ekonomi adakah dia. Jawabannya selalu ada. Untuk tahun 2021 , menurut laporan WEF ancamannya besar, meskipun hanya bersifat prediksi. Menteri Keuangan RI mengamini laporan tersebut. Faktor A ini dibuat karena  efek pandemi covid 19 telah merusak banyak aspek kehidupan. WEF menyampaikan prediksi bahwa dalam 3-6 mendatang ancaman buruk dikhawatirkan terjadi. Apa itu?

Diprediksi akan terjadi krisis utang di negara-negara besar( termasuk Indonesia ).Keuangan perusahaan dan keuangan publik kewalahan oleh akumulasi utang yang dapat mengakibatkan kebangkrutan, gagal bayar dan krisis likuiditas. Ancaman lain adalah kegagalan menstabilkan harga, yaitu ketidakmampuan untuk mengontrol kenaikan harga (inflasi) atau penurunan harga(deflasi ) yang tidak terkendali pada tingkat harga umum barang dan jasa.Kurvenya bisa seperti lambang PLN. Hal lain adalah renggangnya hubungan antar negara, persaingan ekonomi, politik, dan/atau teknologi antara kekuatan geopolitik, mengakibatkan retaknya hubungan bilateral dan/atau meningkatnya ketegangan.

KEEMPAT, selain itu, diprediksi akan terjadi ancaman geopolitisasi sumber daya strategis : terjadi konsentrasi, eksploitasi dan/atau pembatasan mobilitas oleh negara untuk barang, jasa, pengetahuan atau teknologi yang penting bagi pembangunan manusia dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan geopolitik. Konflik antar negara yang kemudian dapat mengakibatkan terjadinya serangan secara biologis, kimiawi, dunia maya, dan/atau fisik, intervensi militer, perang proxi, dan sebagainya.

KELIMA, kalau prediksi ancamannya seperti itu, maka yang menarik bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang menolak prediksi tersebut.Berarti bahwa secara potensial ancaman tersebut bisa terjadi dalam jangka 3-6 tahun mendatang.

Catatannya adalah bahwa  laporan WEF tersebut bisa dikatakan berspektrum luas karena tidak hanya akan terjadi di wilayah geoekonomi saja, tetapi juga di wilayah geopolitik. Lebih dari itu yang paling miris adalah berpotensi akan terjadi konflik secara bilateral dan multilateral. Tapi WEF tidak mengatakan bahwa ancaman tersebut dapat memicu terjadinya ” perang dunia ketiga”. Mungkin lebih tepat disebut sebagai potensi terjadinya konflik antar peradaban dan ini bisa terjadi  sebagai pertanda bahwa manusia gagal menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Apa kita bisa mengabaikan prediksi ancaman yang dilaporkan WEF  tersebut. Mestinya tidak bisa dicuekin. Karena pada kenyataannya jika dilihat dari penggalan peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia, baik itu peristiwa ekonomi, politik dan militer sudah banyak terjadi pada berbagai skala.

KEENAM,apa kita di Indonesia merasakan adanya ancaman yang diprediksi oleh WEF. Rasanya sulit untuk tidak mempercayai adanya prediksi ancaman  besar yang menanti ekonomi dunia, termasuk Indonesia.Buktinya Menteri Keuangan mengamini adanya ancaman tersebut seperti dimuat dalam berita CNBC Indonesia 15 Maret 2021.Keprihatinan adanya ancaman tersebut tentu cukup bisa difahami karena Indonesia adalah bagian penting dalam percaturan ekonomi global dan kawasan.

Di bidang ekonomi ada 3 hal yang paling menonjol, yaitu ancaman krisis utang global yang akan diwarnai oleh persoalan gagal bayar, krisis likuiditas, dan akan berakhir terjadi “kebangkrutan massal”.Ngeri-ngeri sedap prediksinya.

Berikutnya adalah masalah volatilitas harga- harga komoditas yang bisa menimbulkan efek inflasi atau sebaliknya deflasi. Dan yang ketiga adalah proteksionisme. Meskipun tidak disebut tentang peran IMF, WB atau WTO, situasi itu bisa membuat  ketiga lembaga tersebut tidak berkutik mengatasi ancaman besar ekonomi yang melanda dunia.

KETUJUH,penulis membayangkan bahwa jika hal itu terjadi, maka itulah ” Great depression”di abad ini yang erupsinya sangat besar dan dampaknya meluas karena goncangannya merambah ke wilayah geopolitik global. Sewaktu AS-China terjebak trade war, digambarkan lighting boltnya menyentak dan hampir semua negara merasakan dampak ledakan sengatan listrik dari ledakan petir itu. Bagaimana jika yang terjadi currency war, lighting boltnya bisa menimbulkan awan pijar yang dahsyat. Kesimpulannya adalah ketidakpastian ekonomi global akan cenderung laten menjadi ancaman global. Kilatan-kilatan petir akan lebih sering terjadi dimana-mana paling tidak dalam kurun 3-6 tahun ke depan seperti prediksi WEF. Sesekali akan terjadi kurva V dan lain kali akan terjadi kurva V yang terbalik.Siklus ekonomi dan bisnis akan bergerak cepat naik-turun,sehingga diperlukan tindakan contracyclical yang cepat dan tepat. Mengelola risiko menjadi pekerjaan paling berat karena sumber daya untuk mitigasinya kian terbatas. Indonesia menghadapi masalah dalam keseimbangan primer, shortfall pajak, ekonomi high cost, kerusakan lingkungan, beban utang publik dan swasta yang kian menggelembung, cadangan devisa terlalu banyak berisi hot money dan  khususnya di wilayah politik terjadi defisit demokrasi. (penulis pemerhati ekonomi dan industri, tinggal di Jakarta).

 

 

 

Exit mobile version