Ancamannya Adalah Kebangkrutan Massif…..

Loading

Oleh: FauziAziz

 

PERTAMA, tiada hari saat ini tanpa perbicangan sekitar wabah covid-19. Jika penanganannya makin kehilangan fokus, semua pihak merasa cemas.Apa jadinya negeri ini jika korbannya makin bertambah banyak.

Belum tuntas menyelesaikan tanggungjawab, pemerintah pada krisis kesehatan dan kemanusiaan, pemerintah sudah kebelet mau menangani pemulihan ekonomi nasional, yang konon akan dipimpin langsung oleh Presiden.

Tidak ada yang salah dengan itu, sepanjang dilaksanakan dalam rangka mengemban amanat konstitusi. Clean and clear jika amanat ini dipegang teguh penuh tanggungjawab demi kepentingan bangsa dan negara.

KEDUA, pemulihan ekonomi penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena faktor masih seretnya demand agregat yang merupakan gabungan antara investasi, konsumsi dan ekspor akan berdampak pada penurunan produksi nasional.

Dapat dipastikan ini terjadi. Di sektor manufaktur telah terjadi penggerusan produksi besar-besaran. Angka PMI manufaktur berada pada titik kritis yakni 23, sebelumnya masih berada pada level angka 47.

Inipun sudah tereduksi dari angka 50 sebagai ambang batas aman sebagai patokan indikatornya. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan adalah ancaman terjadinya stagflasi produksi yang berpotensi terjadinya inflasi. Penulis terpaksa harus mengingatkan kembali narasi ekonomi presiden yang mengatakan bahwa “Inflasi Boleh Rendah  Tapi Impor Jangan Tinggi”.

Narasi ini sejalan untuk merespon persoalan stagflasi produksi. Presiden tinggal perlu segera menyiapkan produk hukum tentang Penyelamatan Industri sebagai salah satu upaya pemerintah agar sektor produksi tidak mengalami stagflasi.

Statusnya siaga, penting dan urgen karena jutaan pekerja terlibat langsung dalam kegiatan produksi dan ekspor, sebagai sumber pendapatan negara yang sekarang mulai mengering. Di sektor keuangan  sudah melakukan banyak hal dan ini sudah ditangani oleh Kementrian Keuangan.

Sekarang saatnya Presiden memimpin langsung Progam Penyelamatan Industri. Apa yang kita lihat sekarang ini persoalan justru muncul di sektor produksi yang kondisinya sangat berat karena seluruh rantai pasokan global mengalami gangguan cukup serius.

Kondisi di industri keuangan sebenarnya baik-baik saja, dan tidak ada tanda-tanda terjadi rush likuiditas.

KEEMPAT, stagflasi yang dapat menimbulkan inflasi sehingga dapat berpengaruh terhadap kenaikan impor menjadi berlawanan dengan apa yang menjadi arahan presiden tersebut di atas. Memang boleh jadi  ini bukan kondisi ideal karena ada faktor kedaruratan.

Untuk menjaga keseimbangan pasokan barang, membuka kran impor bukan tindakan yang salah karena memang harus dilakukan dengan konsekwensi cadangan devisa banyak terpakai untuk mengimpor. Identifikssi terhadap industri-industri terdampak perlu segera dilakukan.Akumulasi dari seluruh persoalan yang ada, pasti akan bermuara pada kebutuhan suntikan likuiditas dan di lain pihak juga memerlukan adanya dukungan program restrukturisasi utang guna meringankan beban cashflow perusahaan.

Karena itu, seperti juga diharapkan oleh Kadin Indonesia, tindakan pemerintah untuk penyelamatan industri jelas sangat dibutuhkan. Langkah ini selain mengandung unsur perlindungan juga dapat dianggap sebagai bagian dari penciptaan iklim usaha. Pemerintah dalam jangka panjang sudah sepakat bahwa Indonesia akan menjadi negara industri maju pada tahun 2035.

Pemerintah juga telah menetapkan 5 sektor prioritas untuk pengembangan industri 4.0 yang memegang peran penting dalam peningkatan ekspor. Tak kalah penting mendorong IKM semakin berbaris IPTEK yang akan menjadi supporting industri dan yang berorientasi ekspor.

Pemerintah juga akan lebih mendorong sektor manufaktur dan IKM dapat membuka akses pembiayaan ke pasar modal sebagai emiten baru melalui IPO atau Right Issue.

KELIMA, soal dana stimulus yang dibutuhkan harus dihitung dengan tepat. Pasti relatif butuh dana besar karena sektor yang terdampak krisis cukup luas. Wajar jika Kadin Indonesia mengusulkan sampai mencapai Rp 1.600 triliun. Jumlah ini tetap dalam rangka untuk mendukung tiga progam utama pemerintah, yaitu progam penanganan covid-19, program JPS dan Progam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Memang semuanya menjadi tergantung pada ketersedian likuiditas nasional dan semua pihak yang membutuhkan sangat berharap menjadi sumber pembiayaan yang ber biaya rendah.

Dalam PP nomor 23/2020, penulis lihat ada insentif berupa subsidi bunga. Kita harapkan dapat berlaku untuk semua sektor yang membutuhkan. Lembaga-lembaga keuangan bank yang beraset besar dan struktur keuangannya sehat dalam PP nomor 23 tersebut diberi tugas untuk bertindak sebagai bank penyangga bagi bank-bank lain yang mengalami kesulitan likuiditas; dan menjadi bank jangkar sebagai chaneling.

Disini barangkali kredit progam berbunga rendah atau penyaluran pembiayaan ke pelaku usaha yang memperoleh subsidi bunga dari bantuan pemerintah akan disalurkan.

Namun tetap harus diberi catatan bahwa perbankan sendiri sebenarnya masih mengalami pengetatan likuiditas dengan LDR mencapai 95%. Berarti bahwa sebagian besar dananya ada di tangan para debitur sebagai pinjaman yang dalam kondisi sulit seperti saat ini bisa berpotensi menjadi kredit macet-NPL.

Wajar jika kemudian muncul semacam keberatan sejumlah bank besar untuk menjadi bank penyangga membantu bank-bank lain yang kesulitan likuiditas, kecuali jika dananya disediakan oleh pemerintah. Akhirnya konsep bail-in tetap butuh bailout juga dari pemerintah. Dan dipastikan akhirnya pemerintah harus menarik pinjaman luar negeri sehingga defisit anggaran tahun ini dilonggarkan menjadi 5,07% terhadap PDB.

Cukup Dalam

Persoalannya, PDB Indonesia juga mengalami penurunan karena terjadi  kontraksi pertumbuhan yang cukup dalam. Kuartal-I tahun 2020 hanya tumbuh 2,97%, di bawah target 4,7%. Soal cetak uang, mungkin proses politik yang akan menyelesaikannya jika cari dana likuid dari manapun sulit karena semua negara butuh dana kontijensi. Kalaupun ada, bunganya akan relatif tinggi. policy is choice. Plus minusnya selalu ada.

KEENAM, kalau kita baca dari PP tersebut, maka tindakan penyelamatan ekonomi, termasuk sektor Industri jelas tetap menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah dalam rangka menjalankan prinsip contigent liabilities yang prudential. Yang untuk mendukung progam penangan ccvid-19 dan JPS didelever langsung dari APBN ke kelompok sasaran.

Sedangkan yang untuk mendukung progam PEN akan disalurkan melalui mekanisme perbankan melalui bank-bank jangkar sebagai chaneling yang ditunjuk pemerintah atau OJK. Untuk kita ketahui bahwa Tujuan Progam PEN adalah untuk:  “Melindungi, Mempertahankan, Dan Meningkatkan Kemampuan Ekonomi Para Pelaku Usaha, Termasuk Umkm Dan Diharapkan Dapat Meminimalkan Terjadinya Phk Oleh Pelaku Usaha Karena Pandemi Covid-19”.

KETUJUH, mencegah terjadinya stagflasi produksi menjadi tercover sepenuhnya oleh tujuan progam PEN tersebut. Tindakan penyelamatan industri berarti ditujukan untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatan kemampuan perusahaan industri dapat recovery kegiatan produksi dan bisnisnya karena krisis kesehatan yang kemudian menimbulkan krisis ekonomi.

Sumber pendanaannya bisa saja sebagian berasal dari APBN atau mendapatkan dana siaga (stand by loan) dari lembaga-lembaga keuangan internasional. Supaya tetap dapat dikendalikan oleh pemerintah, mungkin perlu semacam subsidiary loan agreement melalui semacam mekanisme state guaranty for borrowing of enterpricies. Yang utang tetap masing-masing pelaku usaha dan dananya yang menarik pemerintah yang kemudian melalui chaneling bank untuk disalurkan kepada para debitornya. Jadi pemerintah menjadi semacam lembaga ” penjamin pinjaman”.

Tahun 1980-an, pemerintah pernah meminjam dana World Bank melalui sistem chaneling kalau tidak salah Bank BNI 46 yang ditunjuk menangani dengan skema  two step loan (merupaksn istilah yang digunakan saat itu).

Dana tersebut dipakai untuk membiayai progam restrukturisasi industri TPT, permesinan serta pulp dan kertas. Semoga hal ini dapat menjadi bahan masukan untuk penyusunan protokol penanganan krisis untuk penyelamatan industri dalam negeri. Setiap kebijakan umumnya datang dari pengalaman sebelumnya. Protokol penanganan krisis keuangan lahir karena pengalaman krisis 1997/1998 dan krisis 2008/2009.Sekarang yang colaps adalah sektor industri/produksi, sehingga Pemerintah harus membuat Protokol Penanganan Krisis untuk Penyelamatan Industri Dalam Negeri. Jika tidak diselesaikan secara sistemik dan terukur maka ancamannya adalah “Kebangkrutan Masif”. (penulis pemerhati ekonomi dan industri tinggal di Jakarta)

 

 

CATEGORIES
TAGS