Anti Penegakan Hukum

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

PERNYATAAN ini pasti akan muncul dan bisa datang dari siapa saja yang sadar hukum. Perasaan kebatinan ini muncul dengan sebuah pertanyaan besar, betulkah di masyarakat ada intuisi anti terhadap penegakan hukum meski pun kita tahu Indonesia adalah negara hukum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3)?

Semua warga negara, tanpa kecuali, tidak ada yang kebal hukum. Para politisi sering berucap bahwa penegakan hukum tidak boleh tebang pilih. Ini spirit politik. Tapi lain di mulut lain di hati. Jika persoalan hukum menimpa dirinya, pada umumnya mereka ingin agar dirinya termasuk kelompok yang tidak ikut ditebang.

Karena kalau ikut ditebang atau terikut tertebang, maka jatuhlah talak tiga pada dirinya. Dia takut dikucilkan dan terkena sanksi sosial dan terkena karmanya sendiri. Harga diri dan reputasinya porak poranda dan karirnya pun berhenti.

Realitas yang seperti ini hidup subur di tengah-tengah masyarakat dewasa ini. Sikapnya mendua dan sangat paradoks, yakni mendukung penegakan hukum dan sekaligus dengan nada berontak sebenarnya bersikap anti penegakan hukum.

Terutama bila kasus hukum menimpa dirinya. Ia biasanya kasak-kusuk ke sana ke mari seperti orang kebingungan, nervous minta perlindungan kiri kanan agar tidak dijerat hukum. Alasannya macam-macam. Tidak tahu menahu, tidak menerima sesen pun kalau kasusnya korupsi, tidak dilapori dan sebagainya.

Seperti Kodok

Sikap seperti ini adalah munafik seperti ular berkepala dua. Salah tapi tidak pernah mau mengaku berbuat salah, padahal manusia tempatnya lupa dan salah. Takut dihukum karena merasa dirinya orang penting dan terhormat di negeri ini dan tidak pantas kalau terjerat oleh hukum.

Luar biasa memang sikap manusia ini kok bisa-bisanya hidup di dua alam seperti kodok. Perilaku manusia di depan hukum apakah harus seperti itu, sepertinya “anti terhadap upaya penegakan hukum” di negeri ini. Buktinya hampir sebagian besar perkara korupsi di Indonesia yang melibatkan elit politik dan petinggi negara diputar-putar nggak karuan.

Berbagai upaya pembuktian sepertinya rumit padahal sejatinya menelusuri kasus korupsi bukan hal yang sulit. Para pihaknya juga nggak luas-luas amat. Kasus-kasus korupsi dana APBN di mana pun terjadi di Indonesia, para pihaknya hanya melibatkan beberapa aktor sebagai oknum yang patut diduga keras terlibat.

Para pihak itu misalnya oknum di DPR, oknum di K/L dan penyedia barang/jasa. Aparat Itjen pasti tahu, hanya saja ia sebagai aparat pengawas internal K/L menghadapi konflik kepentingan. Kesan kuat sepertinya terjadi “anti terhadap upaya penegakan hukum” tidak bisa dibiarkan.

Praktek mafia hukum/peradilan sebagaimana disinyalir terjadi selama ini, jujur harus diakui banyak dilakukan oleh aparat oknum penegak hukum dan oknum pengacara. Semangat kerjanya adalah membebaskan tersangka dari jeratan hukum, bukan keadilan hukum. Inti dari ungkapan keprihatinan tersebut semestinya harus dapat direspon oleh kita semua dengan suatu kesadaran komunal bahwa kalau tidak mau dituduh sebagai yang membuat kesalahan, ya hindari jangan berbuat salah.

Kalau tidak mau disebut koruptor, ya jangan korupsi atau mencoba-coba belajar untuk korupsi. Semua pejabat negara dan birokrasi pemerintah di pusat/di daerah dalam melaksanakan tugas pokoknya dikerangkengi oleh berbagai macam aturan yang bersifat mengikat. Semuanya tanpa kecuali harus memahami isi aturan, tidak ada alasan sedikit pun untuk berkata tidak tahu atau belum baca.

Sekali dilanggar, sengaja atau tidak sengaja, pasti akan dikenai sanksi sesuai yang diatur dalam peraturan perundangan. Sebagai pejabat publik dan para pegawainya terikat atas hukum publik yang berlaku di republik ini. Kalau tidak mau dijerat hukum, jawabannya hanya satu, yakni jangan melanggar hukum agar tidak dituduh sebagai seseorang yang bersikap “anti terhadap penegakan hukum”.

Barangkali perlu ada upaya besar melalui semacam “revolusi budaya” atau “revolusi mental” agar bangsa ini benar-benar sadar hukum dan sadar bahwa hukum sebagai pranata sosial memang harus ditegakkan (law and order).

Kesadaran ini juga bukan hanya terhadap adanya hukum formal yang mengatur tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di muka bumi yang dibuat manusia, tetapi harus sadar bahwa di luar hukum ciptaan manusia, ada hukum ciptaan Tuhan yang juga mengatur sanksi jika ada yang berani melanggar.

Semoga Indonesia benar-benar menjadi negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 dan tidak ada lagi yang merasa kebal hukum. Sebagai rakyat hanya bisa berharap bahwa siapa pun yang akan terpilih menjadi RI-1 tahun 2014, harus menjadi panglima penegakan hukum, bukan tukang gembosin penegakan hukum, alias anti terhadap upaya penegakan hukum. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS