Apa Bedanya Apriyani dengan Rasyid Rajasa

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi

Apriyani - Rasyid Rajasa

COBA tebak, kira-kira apa komentar Apriyani setelah mendengar vonis Rasyid Rajasa (putra bungsu Menko Ekuin Hatta Rajasa) yang hanya dihukum percobaan. Apriyani mungkin menyesali dirinya kenapa dia tidak dilahirkan dalam keluarga penguasa seperti Rasyid. Andaikan Apriyani putri seorang Menko Ekuin, sergapan hukum kepada dirinya akan jauh lebih ringan.

Atau dapat dipastikan, Apriyani tidak akan sempat menginap di kamar tahanan kendati akibat ulahnya telah merenggut sejumlah nyawa melayang di jalan raya seperti yang terjadi pada diri Rasyid.

Bahkan hukuman yang dijatuhkan akan sangat ringan. Bayangkan, seorang sopir menabrak mati dua manusia, tapi tidak pernah ditahan dan vonis hanya percobaan dan disuruh membayar ongkos perkara Rp 2.000.

Soal ada perdamaian dengan pihak keluarga, tampaknya para sopir yang melakukan kelalaian menabrak di jalan raya selalu menempuh jalan perdamaian serupa walu tak sama. Tapi unsur pidana tetap diberlakukan yaitu dikurung. Namun bagi putra bungsu Hatta Rajasa yang juga keponakan Presiden SBY itu, tidak demikian adanya.

Namun tidak heran nantinya jika Apriyani memohon kepada Mahkamah Agung (MA) agar putusannya ditinjau kembali melalui prosedur banding. Mutlak menjadi haknya menjadikan hukuman Rasyid itu sebagai jurisprudensi. Hukuman itu memang amat berbeda sekali antara 15 tahun penjara bagi Apriyani dengan 6 bulan percobaan bagi Rasyid, pada kasus yang sama yaitu penabrakan di jalan raya yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Sadar atau tidak, nantinya vonis ringan yang diberikan kepada putra pejabat negara ini, akan dijadikan rujukan hukum (yurisprudensi). Para pengemudi yang lalai di jalan raya kemudioan menimbulkan tabrakan dan merenggut nyaya manusia, akan menjadikan hukuman yang ringan tersebut sebagai rujukan hukum.

Dengan landasan bahwa keadilan hak semua warga dan semua warga sama di depan hukum, vonis ringan tersebut berhak dinikmati semua manusia dan tidak hanya milik atau monopoli Rasyid.

Pertanyaan kita sekarang adalah apakah hakim sebagai pendekar hukum saat memutus perkara sudah berlaku adil atau belum. Atau apakah hakim bersangkutan menghukum anak seorang menteri berada di bawah tekanan atau tidak. Yang pasti jawabannya sangat subjektif.

Kalau hakim bersangkutan diajak berdebat, pasti hakim punya senjata pamungkas untuk mendukung putusan hukumnya, apalagi jika yang dihukum adalah anak seorang pejabat tinggi, nampaknya dengan gampang hakim mencari-cari alasan hukum dalam memutuskan perkara dimaksud.

Demikian juga jika hakim memvonis berat dan memenjarakan pencuri sandal jepit, hakim bersangkutan punya senjata pamungkas juga, apalagi yang dihukum itu rakyat jelata yang tidak punya apa-apa,

Maka tidak heran jika hukum berhadapan dengan kekuasaan apakah itu pejabat negara atau pengusaha, hukum menjadi lembut dan tumpul. Aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa dan hakim nampaknya terpasung profesionalisme ketika dihadapkan dengan orang orang besar di negeri ini. Namun jika pedang itu diperhadapkan kepada wong cilik, pedang itu menebas setajam-tajamnya.

Para pendekar hukum, khususnya para hakim di pengadilan, harus mau dan siap menggunakan rasa keadilan sebelum menjatuhkan vonis kepada siapa-pun. Beranikah mereka? ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS