Apa Kabar Pemiskinan Terhadap Koruptor…?

Loading

Laporan: Marto Tobing

Koruptor

DAKWAAN hingga hukuman yang diterapkan bagi para koruptor ternyata masih selalu diakhiri dengan ketiadaan rasa keadilan yang mengakar rumput. Akibatnya wacana publik kemungkinan mengadopsi penerapan teori pembuktian terbalik menjadi relevan ketika muncul pertanyaan “Apa kabar pemiskinan terhadap koruptor?”. Sebab yang paling ditakutkan para koruptor bukan semata hukuman badan melainkan menjadi momok baginya, ketika seluruh harta kekayaan hasil korupsinya disita atau dirampas untuk negara. “Kemiskinan bagi mereka bagaikan neraka,” ujar Ketua Presidium Indonesian Police Wacth, Neta Pane membenarkan konfirmasi Tubas seraya mempertanyakan kapan hakim memutuskan selain hukuman badan juga menyatakan harta kekayaan hasil korupsi dirampas untuk negara?

Masalahnya, hukuman badan seberat apa pun, palu hakim selalu menguranginya dengan masa tahanan sehingga lamanya masa hukuman menjadi tidak utuh. Kemudian hukuman denda yang diterapkan, pun dimudahkan hakim dengan diberikannya ruang subsider sebagai pilihan untuk tidak menjalani hukuman yang hanya sekian bulan kurungan itu. “Kalaupun dikenakan hukuman sebagai pengganti kerugian negara, publik tidak pernah tahu kapan itu benar-benar dieksekusi, ” ujar Neta Pane bernada gugat.

Sejak divonis, sang koruptor pun mulai menghitung perjalanan waktu selama di ruang sel seraya menanti datangnya sang pangeran REMISI bersama si Robinhood “Pembebasan Bersyarat”. Terpidana korupsi Artalita Suryani dan koruptor Aulia Pohan sudah menikmati kompromistis judicial itu. Sebelum bebas, perlakuan pun sangat kontras. Terpidana kelas sejengkal perut, dikumpulkan dalam sel, sesak tak ubahnya sekumpulan ikan bandeng, sedang sel tahanan para koruptor, tentu saja dilayani berbagai fasilitas enta itu di rumah tahanan (rutan) mau pun di lembaga pemasyarakatan (LP) sama saja, senang dan nyaman.

Nurdin Halid misalnya, ketika menjalani dua kali hukuman sebagai terpidana korupsi di Rutan Salemba, Ketua PSSI ini diberi fasilitas untuk menerima kunjungan (bezoek) kerabat dan handai tolannya di salah satu ruang tata usaha. Sedang bagi terpidana kaum marjinal, ketika menerima kunjungan kerabat atau teman hanya diperbolehkan di emperan beralas tikar (bawaan pengunjung) dan tidak sedikit terpaksa duduk di ubin.

Bahasyim Assifie bekas pejabat di Direktorat Jenderal Pajak boleh-boleh saja berteriak merasa dizalimi karena dihukum 10 tahun penjara di PN Jaksel. Namun tak terbayangkan berapa juta wajib pajak terjebak tetap sebagai rakyat miskin karena haknya dikemplang para koruptor..?

Menurut jaksa penuntut umum (JPU) Fachrizal, terdakwa Bahasyim Assifie memiliki rekening dengan transaksi Rp 900 miliar, terbukti melakukan kejahatan pencucian uang. Sebagai Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII, pada 30 September 2010 Bahasyim meminta uang Rp 1 miliar kepada salah seorang wajib pajak. Padahal mengacu pada Pasal 12 huruf a UU No. 20 Tahun 2001 ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara. Untuk mengelabui kejahatannya, Bahasyim menyetorkan Rp 900 miliar ke rekening atas nama isteri dan anak-anaknya. JPU menyebut transaksi mencurigakan Rp 885 miliar di rekening istrinya bernama, Sri Purwanti juga di rekening anak-anaknya bernama Winda Arun Hapsari dan Riandini Resanti masing-masing Rp 284 miliar dan Rp 366 miliar dalam kurung waktu sejak Tahun 2005-2010. Masih pada rekening Riandi, JPU menemukan transaksi bernilai Rp 5 miliar.

Sayangnya, menurut Neta Pane, hakim tidak memerintahkan jaksa untuk merampas harta kekayaan terdakwa hasil korupsi yang dinyatakan terbukti itu. “Harusnya hartanya dirampas biar kapok,” tandas Neta Pane. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS