Apalagi yang Belum Dibahas di Negeri Ini?

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

ADA ungkapan yang baik dan kita sudah merekamnya dalam ingatan, yaitu selesaikan semua aspek kehidupan yang dianggap sebagai masalah. Kita dianjurkan agar tidak menjadi bagian dari masalah, tetapi menjadi bagian dari solusi. Tepat ungkapan tersebut. Dan bahasan yang paling baik dan bijaksana adalah membicarakan dan merumuskan solusi dari semua masalah yang terjadi di negeri ini. Bukan terus saling kritik dan saling melakukan bela diri untuk menyelamatkan negeri ini agar tidak “bangkrut”.

Argumentasi yang selalu dibangun ringan saja diungkapkan, yakni biasalah itu, kita negara demokrasi. Karena itu, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar. Prinsip ini pada dasarnya ada benarnya. Tapi kalau disimpilifikasikan sedemikian rupa, maka nilai pendidikan politiknya sangat picisan. Artinya, jika kita akan mengurus negeri ini, maka berdebatlah terus dan berbeda pendapatlah terus, karena kita hidup di alam yang demokratis.

Oleh sebab itu, kita harus berhenti sejenak untuk merenungkan kembali apa sudah benar negeri ini dikelola. Benar dalam ukuran sesuai patokan kerja yang sudah dimufakati, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Benar menurut kaidah tata kelola yang baik. Benar menurut norma-norma umum yang berlaku universal.

Kalau kita telusuri sejak era Reformasi 1998, bangsa ini sudah terlatih berdebat. Dari debat kusir sampai debat yang bersifat akademis. Tapi, debat itu hanya ramai dan gegap-gempita di panggung. Bukan di meja musyawarah untuk mencapai mufakat untuk mengurus negeri ini.

Rumah Politikus

Kita punya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tapi hanya menjadi semacam rumah tempat peristarahatan. Atau supaya lebih sopan kita sebut saja rumah dinas (rumah yang dihuni politikus yang sedang berdinas). Rumahnya besar, biaya perawatannya tinggi, tapi fungsi dan perannya terbatas. Sebagai majelis tempat bermusyawarah rakyat, nyatanya fungsinya bukan untuk itu.

Tapi, hanya dipakai untuk bincang-bincang di antara para penghuni rumah dinas tersebut,sambil ngopi-ngopi. Dipakai hanya untuk pidato sosialisasi 4 pilar kebangsaan. Tapi, tidak pernah digunakan untuk bermusyawarah untuk mencapai mufakat yang masalahnya sudah semuanya dibahas di negeri ini.

Semua aspek masalah di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan hukum, sudah dibahas di mana-mana dan masing-masing sudah ditemu-kenali masalahnya dan bahkan sudah ada solusi yang ditawarkan. Tapi, mengapa kesan kuat yang muncul di ruang publik hanya debat dan dialog soal masalah dan tidak muncul dengan kuat resultantenya? Sehingga muncul kesan kuat bahwa negeri ini hanya berputar-putar di lingkaran yang sama untuk mengatasi masalah yang timbul. Maju enggak, mundur juga enggak. Contoh, sektor pertanian siap swasembada, tapi hasilnya sama saja, yakni tetap berswasembada impor.

Ekonomi dalam negeri dari Orba sudah high cost, sekarang tetap saja high cost. Contoh ini memberikan kesan bahwa para pengelola negara ini sepertinya tidak pandai mengelola dengan baik dan benar seluruh kekuatan aset bangsa. Negara ini sekarang berada dalam sebuah fenomena yang unik, yaitu kaya masalah, tapi miskin solusi karena para CEO-nya tak cakap mengambil keputusan. Tak bijak menjadi pendengar yang baik atas masukan dari kalangan masyarakat luas, cerdik pandai, tokoh masyarakat, dan sebagainya. Lebih mau mendengar dari masyarakat di luar dunia antah-berantah yang dianggap lebih hebat, lebih pandai, dan lebih bisa dipercaya, karena solusi yang mereka tawarkan ada embel-embelnya.

Semoga saja demokrasi yang sudah berjalan 15 tahun lebih sejak reformasi, tidak sedang salah arah untuk membawa negeri mencapai tujuannya. Dan semoga pula sistem demokrasi yang sudah terbangun infrastrukturnya tidak dipakai sesuai peruntukkannya, tetapi hanya dipakai untuk membangun kerajaan-kerajaan kecil di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Masing-masing merasa memilki bendera Merah Putih sendiri. Asyik sendiri melakukan perselancaran politik dan lebih senang menjadi bagian dari masalah ketimbang menjadi bagian dari solusi. Kalau begitu, jangan buru-buru ikut berlaga di percaturan politik dan ekonomi global, kalau di dalam negerinya masih setumpuk masalah yang harus diselesaikan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS