Banjir di Jakarta, Kepatuhan Pemerintah Terhadap Peraturan, Kurang

Loading

Laporan: Redaksi

ilustrasi

ilustrasi

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Salah satu solusi untuk mengurangi beban Jakarta adalah memindahkan fungsinya sebagai ibu kota negara. Namun, pemindahan tersebut harus memperhitungkan berbagai faktor, antara lain, biaya yang sangat besar, ekonomi, sejarah dan politik. Pemindahan sebagian kementerian ke daerah juga kurang tepat, karena pemerintahan harus terpusat. Oleh karena itu, yang memungkinkan dilakukan dalam jangka pendek dan menengah, pembenahan Jakarta secara konsisten dan berkesinambungan.

Payung hukum yang mengatur pembangunan, aktivitas dan mobilitas masyarakat di Jakarta dinilai sudah cukup. Yang kurang, kepatuhan terhadap peraturan tersebut, baik oleh kalangan pemukim maupun pemerintah. Karena itu, penting secara total melaksanakan peraturan, terutama yang terkait dengan tata ruang wilayah. Di antaranya, yang berkaitan dengan pelestarian kawasan resapan air serta ruang terbuka hijau (RTH). Penuhi ketentuan 30 persen dari luas wilayah untuk RTH. Saat ini baru sekitar 9 persen.

Demikian dikemukakan Prof. Dr. Ing. Ir. Sri Pare Eni, pakar perencanaan wilayah dan kota dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, dalam diskusi dengan tubasmedia.com di Jakarta, pekan lalu, terkait dengan banjir yang mengepung Jakarta dalam beberapa hari, pekan lalu.

Dia pun berpendapat, Kota Jakarta masih dapat dibenahi, kendatipun kondisinya memburuk sejak 1998. Ketidakpatuhan pada rencana induk dan ketentuan lain terus berlangsung. Garis sempadan jalan, garis sempadan sungai, dan ketentuan lainnya, yang mengatur berbagai tertib di Jakarta, terus dilanggar. Nah, sekarang, saatnya kembali pada ketentuan. Jangan lagi terjadi pelanggaran rencana induk. Jika satu kawasan dijadikan jalur hijau, ya patuhi. Jika garis sempadan sungai menyebutkan 25 meter dari bibir sungai harus bebas bangunan, ya laksanakan. Jangan lagi dilanggar.

Menurut Sri Pare, ketentuan 30 persen dari kawasan kota harus RTH, untuk Jakarta masih memungkinkan dipenuhi, dengan ketentuan, pelanggaran atas tata ruang wilayah segera ditindak. Penindakan terhadap pelanggaran harus betul-betul jalan, sehingga fasilitas sosial dan fasilitas umum benar-benar berfungsi. Jika gagal melaksanakan pembenahan secara konsisten dan berkesinambungan, maka Jakarta akan tetap dihantui oleh masalah pelik, seperti kemacetan lalu lintas dan banjir.

Menjawab pertanyaan, berapa lama dibutuhkan untuk membenahi Jakarta menjadi kota yang nyaman, Sri Pare, mengatakan, untuk membuat perkiraan demikian dibutuhkan penelitian. Itu pekerjaaan yang melibatkan banyak pihak, terutama pemerintah pusat. Harus diingat, ibu kota adalah “etalase” negara, karena itu keteraturan dan kenyamanan harus terjamin.

13 Sungai

Sri Pare mengingatkan, Jakarta rentan bencana banjir mengingat lokasinya yang tidak jauh dari bibir laut serta dilewati tidak kurang dari 13 sungai yang hilirnya di wilayah Bogor. Maka, ketentuan mengenai tata ruang dan wilayah, yang sudah susah-susah disusun oleh berbagai pihak, harus dipatuhi. Pemukim dan pemerintah harus tunduk pada payung hukum agar Jakarta menjadi kota yang nyaman.

Dikemukakan, pemerintah kota hendaknya lebih gencar menyosialisasikan penyediaan tempat resapan air, seperti biopori. Kalau setiap keluarga menyediakan biopori, maka kawasan resapan air akan meningkat drastis. Sosialisasi dimaksud tidak hanya berkaitan dengan fungsi biopori, tapi juga cara pembuatannya. Dalam hal ini, pemerintah kota dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi.

Masalah Jakarta, kata Sri Pare, metropolitan ini tak memungkinkan diperluas, karena keterbatasan lahan. Ia tidak sependapat dengan perluasan wilayah dengan cara reklamasi laut. “Cara itu menentang alam,” katanya. Terkait dengan itu, yang memungkinkan dilakukan adalah pengembangan bangunan secara horizontal, terutama di kawasan kota, sehingga warga bermukim di dekat tempat bekerja. Perbanyak rumah susun atau apartemen untuk memenuhi kebutuhan warga akan rumah.

Namun, harus lebih banyak dibangun rumah susun sewa, yang dapat dijangkau oleh warga berpenghasilan kecil. Kalau cara ini tidak ditempuh, tetap saja warga berpenghasilan rendah tinggal di kawasan-kawasan pinggiran, yang membutuhkan angkutan umum menuju ke tempat kerjanya.

Selain itu, pemerintah daerah dan pusat hendaknya terus mendorong swasta untuk membangun lebih banyak kota mandiri. Namun, harus yang benar-benar mandiri, dengan pengertian, aktivitas warganya, baik untuk mencari nafkah, mengikuti pendidikan, berbelanja dan berekreasi, dapat dilakukan di kota itu sendiri. Tapi, infrastrukturnya, terutama jaringan jalan, mesti benar-benar memadai, termasuk untuk pengembangan kota mandiri itu ke depan. Jangan sampai beberapa tahun kemudian jalan ke kota mandiri itu sudah macet.

Dikemukakan, pembenahan angkutan umum, dalam bentuk angkutan massal, baik subway maupun monorel, harus terus dikedepankan. Dalam hal ini, salah satu pola adalah menyediakan angkutan massal dari kota-kota penyangga, seperti Bogor, Bekasi, Depok dan Tangerang ke Jakarta. Dengan cara itu, dapat dikurangi penggunaan kendaraan pribadi dari kota-kota tersebut ke arah Jakarta. (ender/apul)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS