Beban Utang, Perjalanan Menuju Krisis

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

 

PERTAMA, ada yang mengatakan bahwa utang telah menjadi “gaya hidup”. Mungkin ada benarnya pendapat tersebut ketika banyak anggota masyarakat  yang memegang kartu kredit, tidak hanya satu bahkan lebih dari itu.

Tak pernah berpikir ketika tagihan datang, apa bisa dibayar atau tidak utang dan bunganya. Pemerintah dan dunia usaha juga gemar berutang , sehingga setiap data utang luar negeri dirilis, selalu diumumkan sekian USD utang publik, dan sekian utang swasta, termasuk BUMN.

KEDUA, utang jelas beban, baik bagi masyarakat, perusahaan, maupun negara. Karena telah menjadi kebutuhan gaya hidup, maka sesungguhnya ratio utang tidak lagi pas dinisbahkan terhadap PDB, tapi lebih tepat jika dinisbahkan terhadap kehidupan itu sendiri. Karena ada utang terhadap sesama manusia atas nama perorangan atau institusi, ada utang kepada lingkungan , dan utang kepada Tuhan pemilik jagad raya ini. Oleh sebab itu, tepat bila jika melihat tumpukkan utang, semua jadi stress karena takut roboh atau seperti gunung es meleleh di antartika. Hidup diselimuti dengan utang bukan tambah bisa tidur pulas, tapi malah sebaliknya kagak bisa tidur karena kekayaannya sebagian besar berupa utang sehingga DEBT EQUITY RATIO nya adalah 90% utang : 10% equity,bahkan ada yang 100% utang. Astaga, pantes bumi mudah bergoyang karena nggak tahan memikul beban utang yang sudah seperti gunungan sampah di bandargebang. Dalam islam utang orang yang sudah meninggal tetap harus dibayar oleh keluarganya masih hidup.

KETIGA, sangat luar biasa rupanya drama tentang utang ini. Sampai penulis berhalusinasi ingin membuat film drama berjudul ” Utang Pembunuh Berdarah Dingin” atau “Utang Membuat Sengsara”.Ha ha ha, ??. Seluruh dunia gemuruh dan terjadi lighting bolt dimana-mana dengan suara geludug yang keras, dan gelembung utang diprediksi akan segera meletus yang dampaknya akan bisa menimbulkan erupsi besar yakni terjadi krisis utang, gagal bayar, dan krisis likuiditas (WEF). Dan IIF punya angka bahwa utang global sudah lampu merah karena sudah mencapai 355% terhadap PDB global. Astagfirullah.

Tak Berakhir

KEEMPAT, dalam kisah-kisah drama tentang utang ini hampir tidak ada yang berakhir happy ending karena utangnya never ending akibat banyak juga kisah pilu bahwa utang dibayar dengan utang. Ketika bicara tentang utang ini selalu not easy but very hard. Pihak debitur umumnya jika disetujui minta hair cut(penghapusan utang). Ini hampir tidak akan disetujui oleh kreditur. Jika ada yang disetujui hanya diberikan kepada negara miskin. Untuk negara berkembang umumnya ditolak jika skema hair cut diminta karena di anggap masih mampu bayar utang dengan aset yang dimiliki. Dalam konteks ini, skema yang bisa ditawarkan bisa berupa DEBT EQUITY SWAP, yakni  mengubah status utang (debt) menjadi kepemilikan (equity). Ada lagi skema sharing the burden (berbagi beban) , umumnya ditawarkan ketika beban utangnya sangat berat. Biasanya terjadi over borrowing dan overlanding sehingga antara debitur dan kreditur diminta saling berbagi beban tadi. Skema ini belajar dari kosakata Indonesia, yaitu berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Inilah sekedar contoh sederhana, tapi sekali lagi , semuanya not easy but very hard.

KELIMA, contoh menyedihkan adalah ketika tahun 1982-1983, negara-negara Amerika Latin terjebak utang dan mereka menyatakan tidak sanggup bayar karena pada waktu itu suku bunga naik akibat terjadi pengetatan likuiditas oleh The Fed, Bank Sentral AS. Skema-skema tadi termasuk yang ditawarkan yang dipikirkan oleh menteri keuangan AS yang memimpin perundingan utang negara-negara Amerika Latin (17 negara) . Mereka adalah Baker  yang kemudian digantikan oleh Nicholas Brady. Contoh lain adalah krisis  utang UE, tahun 2008 yang terjadi karena kesalahan kebijakan pemerintah ( goverment failure), dan yang terjadi di AS yang lebih disebabkan karena faktor kesalahan  kebijakan korporasi, terkait dengan masalah kredit perumahan. Casenya utang jangka pendek dipakai membiayai proyek jangka panjang. AS bisa selamat karena jasa baik China. Obligasi AS yang dipegang China jumlahnya cukup besar. Data tahun 2019,China pegang obligasi AS sekitar USD 1,1triliun.Jepang nilainya lebih besar yakni USD 1,2 triliun.

KEENAM,rontoknya sebagian lembaga finansial terbesar di wall street  pada September 2008 menggarisbawahi pergeseran kekuatan ekonomi Barat dengan beberapa raksasa korporasi yang jatuh, dan berusaha mencari dukungan dari Sovereign Wealth Fund (SWF) China. Pemerintah AS turun tangan untuk menyelamatkan dua raksasa hipotik, yakni Freddie Mac dan Fannie Mac. China menjadi nasabah penting kedua lembaga ini. Jika mereka menarik dananya, hampir  dapat dipastikan akan mempercepat jatuhnya nilai dolar AS kala itu. Kisah ini  menarik, ketika kita menyaksikan hubungan AS-China mengalami ketegangan dengan tensi tinggi . Perang dagang sudah terjadi di era Dondld Trumph, sekarang yang potensial bisa terjadi adalah perang currency.

KETUJUH, itulah gambar sekilas tentang fenomena utang. Pelajaran berharga yang dapat dipetik adalah : 1) adakalanya konsekwensi akibat utang sangat dramatis, seperti terjadi krisis utang. 2) umumnya beban utang nampak pada perjuangan suatu negara untuk menghindari kegagalan pengangsuran. 3) Pengangsuran utang acapkali bisa mengakibatkan  negara mengorbankan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi. 4) Jika terjadi debt equity swap , maka inilah potensi ancaman nyata  hilangnya kedaulatan ekonomi suatu negara, dan karena itu wajar bila rakyat kritis terhadap masalah beban utang luar negeri pemerintah maupun swasta. 5) pengeluaran konsumsi sebagian dibiayai dari utang, belanja bnvestasi juga sama, belanja pemerintah sami mawon, untuk mengekspor dan mengimpor barang dan jasa sebagian juga dibiayai dari utang. 6) Jika tak mampu make income, pasti terancam gagal bayar. 7) beban utang yang tak terkendali akhirnya menjadi rute perjalanan menuju terjadinya krisis utang, gagal bayar, dan krisis likuiditas. 8) dalam soal utang  berhutang ini selalu saja ada  setan belis, yakni munculnya moral hazard sehingga bisa terjadi overborrowing dan overlanding, dan terjadilah HIGH COST ECONOMY, ujungnya tidak bisa ekspor karena ongkos produksinya mahal. Salam sehat. (penulis pemerhati ekonomi dan industri tinggal di Jakarta)

CATEGORIES
TAGS