Berperilaku Kurir Berusaha Temui Hakim

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

ilustrasi

BERBUSANA sederhana, dihiasi jinjingan tas hitamnya yang cukup besar, wanita usia berkepala tiga itu, Kamis (22/8) pagi, tampak begitu lincah menapakkan langkahnya masuk melewati pintu utama gedung Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut).

Sejenak berhenti, dia lalu bertanya dimana ruangan kerja hakim Wahyu Wicaksono. Mengikuti telunjuk petugas security ke arah atas lantai satu, perempuan bermata sipit itu pun langsung mengarah. Namun sesampainya di lantai satu perempuan berkulit kuning langsat itu masih juga kelihatan bingung. “Ibu sedang mencari siapa,” tanggap Mangapul Girsang yang kebetulan keluar ruangan senada memanggil agar yang berkepentingan lebih mendekat.

“Saya sedang mencari ruangan kerja Pak Wahyu, dimana ya Pak..?” jawabnya. “Ibu siapa,” tanya Mangapul Girsang yang juga koleha Wahyu Wicaksono sesama hakim memperjelas. “Nama saya Dewi,” ucapnya membuka identitas diri secara lisan.

Kemudian dijelaskan Dewi maksud dan tujuannya menemui hakim dimaksud adalah untuk mengurus agar hukuman yang bakal dijatuhkan terhadap Reksinung lebih ringan sebab Jaksa sudah menuntut terdakwa kasus narkoba itu selama 12 tahun penjara.

“Tuntutan itu terlalu berat saya mau urus bagaimana agar hukumannya lebih ringan,” ujar perempuan sensual itu bersikap polos. Mendengar niat upayanya itu, Mangapul Girsang yang juga Humas PN Jakut itu pun menegaskan, “Ibu saya peringatkan untuk tidak menemui hakim sepanjang itu ada kaitannya dengan perkara ya…”. Namun Dewi tetap saja berupaya bahkan terkesan apa pun caranya.

Dewi lalu bertanya lagi kepada seorang panitera yang sedang menenteng berkas perkara menuju ruangan sidang kasus perdata, dimana ruangan kerja Wahyu Wicaksono. Melihat upayanya itu, Mangapul Girsang tidak ingin kolehanya itu bakal jadi korban, akhirnya niat sang putri Dewi itu pun diberitahukan langsung kepada hakim bersangkutan dan Wahyu Wicaksono kaget.

Saat itu juga disikapi tegas dengan tidak bersedia menerima kedatangan siapa pun terkait dengan perkara yang sedang ditanganinya termasuk kedatangan yang mengaku bakal ditemui oleh seseorang yang mengaku bernama Dewi.

“Silahkan ikuti saja jalannya persidangan. Sidangnya dibuka dan terbuka untuk umum, jadi tidak perlu menemui hakimnya,” ujar Wahyu Wicaksono kepada pers senada menampik niat buruk Dewi yang bertindak layaknya kurir “diutus” Reksinung sebelum tiba sidang tahap pembacaan putusan (vonis) dari majelis hakim yang diketuai oleh Wisnu Wicaksono.
Sesungguhnya jauh-jauh hari sikap tegas larangan menemui hakim sudah dilakukan ke seluruh hakim melalui Surat Edaran (SE) No.03/2010 ter-tgl 8 Maret 2010 yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung (MA) kala itu DR. Harifin A Tumpa SH MH.

Menjadi pertanyaan, apakah SE tersebut masih mengikat? Ketua MA Hatta Ali dengan tegas mengatakan tentu saja masih mengikat karena belum dicabut dan tidak mungkin dicabut. “Kebijakan pendahulu saya itu tidak mungkin saya cabut dan tetap mengikat. Lebih-lebih hakim harus mentaatinya,” ujar Ketua MA Hatta Ali menanggapi konfirmasi tubasmedia.com.

Pesan yang dituangkan sebagai SE oleh Ketua MA dimaksudkan, agar para hakim yang bertugas di pengadilan negeri steril dari pihak-pihak berkepentingan kaitannya dengan perkara yang akan dan sedang bersidang. Para hakim harus jaga jarak dengan kunjungan tamu. Kalau pun kedatangan tamu berhubungan dengan proses adminitrasi dari suatu perkara, diharuskan bersama kedua belah pihak yang berperkara yakni pihak terdakwa bersama pihak korban atau saksi pelapor.

Saat ini tercatat 26 hakim di PN Jakut, menempati 7 unit ruangan kerja diisi masing-masing 3 sampai 4 personil hakim. Untuk mengawasi personalitas para hakim seharusnya tidak lagi diperlukan. Predikat sebutan “Yang Mulia” panggilan bagi setiap hakim telah menempatkan strata sosial paling istimewa di antara seluruh mahluk hidup yang ada di atas permukaan bumi “dunia” yang fana ini.

Maka tertangkapnya Wakil Ketua PN Bandung, Setyabudi Tedjocahyono oleh KPK beberapa waktu lalu terkait kasus korupsi membuktikan runtuhnya moralitas hakim bersangkutan hingga ke dasar bawah telapak kaki. Sebab predikat sebutan “Yang Mulia” itu dia cabut sendiri dari harkat dan martabatnya sebagai hakim yang nota bene adalah “Wakil Tuhan” di dalam penegakan hukum yang berkeadilan sosial.

Mudah-mudahan keterpurukan Setyabudi Tedjocahyono itu dapat dijadikan sebagai cemeti sehingga tiada lagi yang bergentayangan mengikuti jejak seirama langkah Dewi. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS