Deradikalisasi

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

SIAPA yang tahu dan mengerti betul tentang konsep deradikalisasi. Mudah-mudahan kita semua faham dan mengerti maksud dan tujuannya. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang punya dan bertanggung jawab penuh atas progam deradikalisasi? Pemerintah-kah? Lebih spesifik BNPT-kah atau Polri-kah atau progam nasional yang pelaksanaannya menjadi tanggungjawab kita semua.

Target grupnya siapa? Apa hanya para teroris yang sudah bertaubat ataukah seluruh anak bangsa? Siapa para instruktur dan mentornya dan bagaimana konsep dan metodologi yang dikembangkan agar pelaksanaan progam deradiklisasi efektif berjalan.

Bayangan secara awam adalah bahwa deradikalisasi sebuah konsep pemulihan agar para mantan teroris yang hidup dan taubat kembali ke jalan yang benar. Mudah-mudahan seperti ini pemahaman awam yang diperolehnya.

Bagaimana dengan kelompok potensial yang bisa terjerembab sewaktu-waktu berubah menjadi teroris atau paling tidak secara potensial bisa menjadi kelompok garis keras militan tetapi tidak pernah menjadi teroris, termasuk kelompok yang menjadi jangkauan pelaksanaan progam deradikalisasi?

Apakah progam deradikalisasi menjangkau sasaran yang luas di seluruh lapisan masyarakat? Inilah sederetan pertanyaan awam yang muncul kepermukaan sehubungan dengan maraknya aksi terorisme yang terjadi di negeri ini. Terus terang kalau tidak dijelaskan dan disosialisasikan serta dikomunikasikan dengan baik dan efektif ke publik, khawatir progam deradikalisasi tidak dimengerti oleh khalayak dan bahkan bisa dipersepsikan berbeda dan salah.

Semoga sederetan pertanyaan tersebut di atas tidak salah-salah amat jika kita lemparkan di ruang opini ini, karena terus terang diantara kita banyak yang belum tahu persis tentang konsep dan progam deradikalisasi. Oleh karena itu, seyogyanya progam ini bisa dijelaskan secara terbuka kepada masyarakat luas.

Siapa tahu masyarakat bisa sharing untuk mensukseskan pelaksanaan progam deradikalisasi asal modul, metode dan tata caranya bisa dijelaskan untuk menjadi bahan pembekalan. Terus terang bagi awam progam deradikalisasi masih misteri. Hasil akhirnya apa dan bagaimana tidak jelas.

Progam ini kalau dianggap penting dan urgent berapa besar dana APBN yang dialokasikan? Jangan-jangan jumlah dan nilainya hampir tidak berarti atau hanya untuk sekedar mendukung progam rutin BNPT saja. Lagi-lagi kita tidak tahu tentang semuanya itu.

Dengan adanya opini ini, diharapkan BNPT bisa memberikan jawaban yang komprehensif atas berbagai pertanyaan tadi, melalui berbagai media. Kalau progam ini dianggap penting apakah tidak mungkin di tiap Kementerian/Lembaga bisa dialokasikan dana APBN untuk melaksanakan progam sosialisasi dan advokasi tentang pencegahan dan pengamanan terhadap aksi terorisme yang potensial bisa menyusup ke lembaga pemerintah, selain progam deradikalisasi itu sendiri yang obyeknya pasti berbeda.

Progam yang dijalankan di lingkungan Kementerian/Lembaga atau bisa juga dikalangan ormas dan lembaga pendidikan materi dan substansinya harus dibakukan, termasuk modul dan model penangannya. Hal yang utama tentu terkait dengan aspek pemahaman wawasan kebangsaan, pembangunan karakter bangsa dan kepribadian bangsa yang sumbernya harus dari pancasila dan UUD 1945, demi menjaga keutuhan NKRI.

Tapi awas, progam ini jangan menjadi obyek proyek baru yang ditrasaksikan yang berujung membuka peluang korupsi baru. Sosialisasi dan advokasinya tidak dalam bentuk sekedar mendengarkan ceramah yang bersifat one way tapi harus dua arah. Karena itu bentuk kegiatannya harus berupa semacam traning center mulai dari tingkat dasar (basic traning), intermediate traning dan advance traning.

Mengapa harus demikian karena progam ini berorientasi kearah pembentukan karakter dan kepribadian bangsa. Di era globalisasi dan era keterbukaan progam-program semacam itu makin dirasakan keperluannya dan bahkan mendesak. Jujur karakter bangsa yang ada dewasa ini sangat fragmentatif dan fragmentasi ini harus jujur pula diakui bahwa dia berkembang dimana-mana.

Kalau dia hidup dalam kelompok komunitas maka fragmentasi kepribadian itu mudah dikenali. Contoh, kalau seseorang adalah warga Muhammadiyah, maka hampir pasti yang bersangkutan akan dididik agar memiliki kepribadian sebagai anggota Muhammadiyah. Begitu pula kalau dia warga Nahdiyin maka dia hampir masti dididik untuk berkepribadian Nahdiyin. Begitu di kelompok-kelompok yang lain.

Bagaiamana kalau kita sebagai warga bangsa? siapa yang mendidik dan mempersiapkan warga bangsa dari Sabang sampai Merauke agar memiliki karakter dan dan kepribadian bangsa sebagai bangsa Indonesia.

Di zaman Orba kita mengenal ada lembaga BP7. Sekarang di zaman reformasi tidak ada lagi. Akhirnya sebuah pertanyaan besar perlu dilemparkan, apakah kita tetap menganggap perlu/tidak untuk memperkuat keperibadian dan karakter bangsa?

Atau kita akan sepakat bahwa keperibadian bangsa itu dibiarkan terbentuk masing-masing sesuai dengan semangat plurarisme. Mari kita duduk perkarakan kembali soal yang satu ini, jika kita masih berharap NKRI secara de jure dan de facto hidup sepanjang zaman di bumi pertiwi Indonesia, tanah air kita bersama. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS