Harpitnas

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi

Ilustrasi

ORANG asing yang ada di Indonesia, atau orang Indonesia yang datang dari luar negeri sering berucap, bagaimanalah Indonesia bisa maju, karena hari-hari di Indonesia kebanyakan dipakai libur ketimbang kerja. Kalau di luar negeri, saking kerasnya kehidupan, kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki. Pergi pagi, pulang malam, bahkan sering lembur.

Tampaknya apa yang menjadi rumors orang asing atau orang Indonesia dari luar negeri itu, benar adanya dan dapat dipahami. Sebagai bukti, lihatlah minggu lalu. Tanggal merahnya (15 November 2012) jatuh pada hari Kamis. Merah atau libur itu karena untuk merayakan Tahun baru Islam (1 Muharram 1434).

Tapi dengan alasan esoknya, Jumat hari kejepit, masa liburnya disambungkan ke hari Jumat tanggal 16 November 2012. Pada kalender Indonesia, pada kotak tanggal itu dibubuhi titik warna merah sebagai tanda libur bersama.

Hari Kejepit Nasional (Harpitnas), demikian orang Indonesia menjuluki hari-hari yang membatasi hari libur dengan hari kerja dengan hari Sabtu dan Minggu yang otomatis libur.

Jadi terhitung Kamis sampai Minggu saat itu, para karyawan di Indonesia cuti bersama. Itu artinya, kalau kita hitung dalam seminggu itu, efektif kerja pekerja di Indonesia hanya tiga hari yaitu Senin, Selasa dan Rabu. Selebihnya libur. Rabu-pun pekerja sudah setengah hati untuk kerja dan siang hari sudah banyak yang meninggalkan tempat kerja.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, apa sih hubungannya jam kerja dengan kemajuan sebuah bangsa. Tapi setelah direnungi, masuk akal juga. Tidak sedikit suara mengatakan hidup di Indonesia ini santai sekali. Bagaimana tidak santai, sampai di kantor tidak langsung kerja, tapi ngobrol sana-sini dulu dengan teman, apalagi bos lagi tidak ada atau belum nyampe kantor. BBM-an dulu-lah atau buka facebook lalu baca brodkes.

Tapi biasanya ceklek absen mesin dulu dan sesudah itu masuk kantin untuk ngopi dan baca Koran. Setelah itu membahas persoalan dunia, dari mulai Pemilu di Amerika Serikat sampai putusnya Rafii Ahmad-Yuni Sara. Lebih uenak lagi jika tersedia papan catur, pasti disempatkan main sepukul dua pukul.

Begitu masuk kerja hari Jumat, jam yang dipakai tidak full, melainkan hanya setengah hari dan selalu buru-buru untuk pulang. Malam Sabtu disebutlah itu sebagai malam gaul. Masuk hari Sabtu terus Minggu lebih parah lagi. Usai makan siang sudah ramai aja tempat-tempat hiburan termasuk pusat perbelanjaan. Mau parkir saja sangat sulit. Untuk memarkir
kendaraan harus siap mutar lapangan parkir beberapa kali. Sudah ketemu parkir, mau pesan meja tempat ngobrol atau minum jus, terpaksa antri pula.

Kita tidak tahu kenapa orang Indonesia senang sekali berlibur. Entah pengaruh informasi, entah karena di Indonesia gampang cari uang jadi gampang ngabisinnya, atau gara-gara lagu Rhoma Irama calon presiden RI tahun 2014 yang judulnya Santai yang mengajak orang santai biar otaknya tenang, kita tidak tau.

Yang jelas, seorang investor Jepang setelah berada satu bulan di Indonesia, dia berdecak melihat jam kerja orang Indonesia. Sambil geleng kepala dia berucap di Indonesia sudah salah kaprah. Sejak kecil orang Indonesia sudah diajari malas melalui jam tidur siang.

Kalau di Jepang, katanya, anak-anak pulang sekolah, langsung makan siang, kemudian dikasih pelajaran untuk les ilmu lainnya dan sore hingga menjelang tidur menyelesaikan PR dari sekolah di rumah dan tidak ada jam tidur siang. Begitu seterusnya hingga dewasa, dididik disiplin dan menghargai waktu.

Tapi di Indonesia katanya kebalikan Jepang. Orang Indonesia diajar orang tua untuk malas. ‘’Kalau kekayaan alam Indonesia ada di Jepang dan dikelola dengan cara kerja Jepang, kekayaan Jepang sudah tidak dapat dihitung lagi’’, begitu katanya.

Yang aneh lagi katanya, di Indonesia, sebuah pekerjaan yang bisa diselesaikan satu hari, diusahakan makan pengerjaannya hingga satu minggu. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS