Sikap Susno Duadji Sebagai Teguran Mendidik Hakim Agung

Loading

Oleh: Marto Tobing

Susno Duadji

Susno Duadji

SIKAP penolakan yang dipertontonkan mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji dengan tidak mentaati eksekusi yang menjadi kewenangan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan itu, sesungguhnya bukan suatu pembangkangan. Mengamati perilaku “pencetus” opini “Cicak versus Buaya” ketika kejadian seteru antara Bareskrim Mabes Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal manipulasi pajak perusahaan pengembangan ikan Aruana di Lampung, perwira tinggi Polri ini senantisa selalu bersikap koperatif.

Sikap keperwiraannya itu telah dia perlihatkan sejak distatuskan sebagai tersangka, hingga dikenakan hukuman 6 tahun penjara, dinyatakan terbukti melakukan korupsi terkait dana pengamanan Pilpres Tahun 2009 saat menjabat sebagai Kapolda Jabar dan manipulasi pajak perusahaan pengembangan Ikan Aruana di Lampung. Tidak menerima dieksekusi, sikap Susno Duadji ini adalah sebagai teguran sekaligus mendidik kehati-hatian para hakim agung lainnya.

Masalahnya, sebagai pesakitan kasus korupsi itu Susno Duadji tidak disikapi secara otomatis dikerangkeng di balik jeruji besi sel tahanan, melainkan masih distatuskan sebagai tahanan kota. Pria berpostur tambun ini masih tetap bebas merdeka melangkahkan kakinya kecuali pidana yang diterapkan berakhir hingga berkekuatan hukum tetap menyusul putusan di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Namun putusan Kasasi itu pun menjadi sia-sia tak ubahnya macan ompong, kenapa…?

Sejak di tingkat pengadilan pertama Susno Duadji sudah dinyatakan bersalah terbukti melakukan kejahatan korupsi lalu diganjar hukuman badan dan denda ditambah membayar uang pengganti kerugian negara serta membayar biaya ongkos perkara. Namun, vonis yang dijatuhkan majelis hakim Tipikor itu tentu saja tidak otomatis dijalani Susno Duadji selain juga beralasan karena Jaksa Penuntut Umum masih menggunakan hak bandingnya. Perlawanan serupa juga akan pasti diupayakan hingga ke tingkat kasasi Mahkamah Agung baik Susno Duadji mau pun oleh Jaksa Penuntut Umum.

Belum lama ini penantian atas kepastian hukum itu akhirnya tiba. Para eksekutor dari aparat kejaksaan pun mulai membentuk tim upaya paksa terhadap terpidana Susno Duadji menjalani hukuman sesaat setelah menerima amar putusan majelis hakim agung yang menguatkan putusan pengadilan sebelumnya. Namun diluar dugaan upaya kesiapan itu menjadi sia-sia hanya dengan alasan satu kalimat yakni amar putusan kasasi Mahkamah Agung tidak menyatakan agar terpidana Susno Duadji segera ditahan.

Perintah “segera ditahan” ini oleh Susno Duadji ditagih, mana penetapan atau putusan majelis hakim agung yang memerintahkan untuk segera ditahan?. Vonis majelis hakim agung itu tidak menetapkan perintah sebagai pelaksanaan eksekusi agar Susno Duadji segera ditahan. Hasilnya upaya eksekusi pun gagal total.

Hal yang perlu dipertanyakan apakah ada unsur kesengajaan untuk tidak menetapkan perintah segera ditahan itu terhadap Susno Duadji atau adanya unsur keteledoran?. Vonis majelis hakim agung itu telah berkekuatan hukum tetap dan mengikat dengan segala konsekwensinya yang berarti apapun bunyinya harus ditaati dan mengikat semua pihak. Hukuman yang diperintahkan untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp 2500 oleh Susno Duadji langsung dibayar lunas.

Sedangkan hukuman denda atau subsider kurungan serta hukuman badan oleh Susno Duadji tidak diabaikan karena hukuman tersebut senyawa dengan ketiadaan perintah segera ditahan. Ada kesan sikap penolakan yang dikedepankan Susno Duadji ketika menghentikan langkah upaya jaksa untuk mengeksekusi dirinya, nuansa yang tersirat Susno Duadji ingin mendidik majelis hakim agung yang menetapkan amar putusan kasasi, utamanya agar lebih hati-hati karena menyangkut masa depan setiap subjek hukum. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS