Tabiat Menyadap Pertanda Tidak Percaya Diri

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

BERITA tentang penyadapan komunikasi yang dilakukan oleh badan intelejen Amerika Serikat (AS) menyeruak di berbagai pemberitaan pada akhir-akhir ini. Apa yang dilakukan oleh AS tentu tidak bisa dilepaskan dari kegiatan spionase yang dilakukan oleh negeri Paman Sam kepada negara-negara yang pantas dimata-matai.

Apapun yang dilakukannya pasti punya motif tertentu, apakah itu motif politik, ekonomi atau untuk tujuan yang lain. Bagi negara yang menjadi korban penyadapan pasti akan bereaksi cukup keras karena kepentingan rumah-rumah tangganya dikorek-korek. Indonesia telah menjadi salah satu negara korban penyadapan, yang sebelumnya menimpa jerman dan negara lain.

Tabiat menyadap atau nguping dengan menggunakan media komunikasi canggih adalah sebuah kenyataan yang telah terjadi dan pelakunya adalah AS. Kalau dalam dimensi sosial atau psikososial tabiat hoby menyadap atau orang jawa suka menyebutnya suka nguping adalah bentuk perilaku yang tidak standar. Suka nguping pembicaraan orang lain dengan cara apapun adalah tidak elok.

Bagi yang melakukannya, tabiat suka menyadap adalah bentuk dari ketidak percayaan diri yang membuat dirinya makin resah atau ada suatu kegagalauan karena berbagai masalah yang sedang dihadapinya. Dalam konteks AS, barangkali pemerintah AS memang sedang mengalami kegalauan berat karena sifat ke adi dayaan tengah memudar. Ekonominya terpuruk, hutangnya berjibun. Pada sisi yang lain, AS tidak mau meninggalkan tradisinya sebagai negara yang memiliki hegomoni politik dan ekononominya di dunia, meskipun kenyataannya sudah mulai digeser oleh China.

Dari prespektif sederhana ini, AS memang pantas kalau bisa disebut sebagai negara yang sedang tertindih oleh berbagai masalah di dalam negerinya. Menyadap atau nguping dilakukannya begitu rupa. Barangkali secara bodoh-bodohan, AS hanya sekedar ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh negara-negara sahabatnya di Eropa dan Asia terhadap kondisi yang sedang dihadapi negerinya.

Atau sekedar melakukan test the water untuk melihat reaksi dari para negara sahabat atas tindakan penyadapan (nguping) yang dlakukannya untuk mencari tahu apakah mereka masih powerful untuk bersahabat dengan AS di bidang politik, ekonomi, pertahanan atau di bidang yang lain. Analisa ini bukan sebuah sudut pandang dari predpektif politik internasional. Sudut pandang yang dilakukan melalui oipini ini hanya mengandalkan pada sebuah logika bahwa jika seseorang sedang mengalami kegalauan yang dibarengi dengan turunnya kepercayaan diri, tabiatnya ingin nguping apa yang sedang dipikirkan orang lain tentang dirinya biasanya bisa muncul.

Dengan perasaannya yang bergejolak seakan orang lain sedang membicarakan tentang dirinya. Padahal itu hanya bisa sekedar fatamorgana semata, yang realitasnya tidak seperti apa yang dibayangkannya. AS sepertinya sedang dibayang bayangi oleh perasaan sendiri sehingga tabiatnya untuk menyadap pembicaraan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi canggih dengan sadar dilakukannya untuk mematahi-matai para negara sahabatnya.

Barangkali, AS risau jangan-jangan mereka tidak akan mau berkiblat lagi ke AS dalam mengelola sistem politik, ekonomi dan pertahanan global dan regional. Rasanya secara psikososial perasaan semacam itu pasti ada dan bisa menghantui siapa saja tidak terkecuali AS dalam konteks pergaulan internasional.

Pak Mahatir pada waktu berkuasa pernah menggagas membentuk caucus Asia tanpa melibatkan AS dan Kanada di Pasifik. Apapun pertimbangannya, gagasan ini sangat brilian karena ada dikandung niat yang mulia dari gagasan tersebut agar Asia tidak terlalu bergantung pada hegemoni AS.

Meskipun tidak terwujud, namun dewasa ini realitasnya benar-benar telah terjadi. Kishore Mahbubani telah mengupasnya dalam bukunya yang terkenal, yaitu “The New Asian Hemisphere. The irresisible shift of global power to the east” (Asia hemisfer baru dunia. Pergeseran kekuatan global ke timur yang tak terelakkan).

Tabiat menyadap atau suka nguping sebaiknya tidak patut lagi dilakukan oleh negara manapun di dunia kalau dunia sepakat bahwa tatanan baru yang lebih transparan,akuntabel dalam hubungan internasional akan diwujudkan bersama. Semua negara (besar/kecil) berhak merdeka.

Semangat tetap bertumpu kepada pilar demokrasi,sosialistik dan humanistik karena ketiga adalah fitrah manusia.Biarlah masyarakat di dunia mengembangkan dirinya dengan kepemimpinan yang baik tanpa harus didikte oleh kepentingan yang merasa dirinya memang pantas untuk mendikte, padahal kenyataannya sekarang terpuruk kedigdayaannya. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS