Site icon TubasMedia.com

Berwarganegara Ganda Sama Saja Seperti Bunglon

Loading

ini-alasan-mengapa-bunglon-

Oleh: Fauzi Aziz

 

TANGGAL 17 Agustus 2016, Indonesia genap mengenyam kemerdekaannya 71 tahun. Kita wajib syukuri bersama telah menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat dan bersatu mengisi kemerdekaan.

Merdeka, berdaulat dan bersatu menjadi modal utama bangsa ini menapak masa depannya melalui peralihan generasi yang secara alamiah harus terjadi. Kita sedang Ber-Indonesia. Kita sedang berproses membangun peradaban Indonesia untuk menjadi Indonesia yang baik (Indonesia Governance), serta mampu berdiri sejajar dengan bangsa lain.

Ber-Indonesia yang baik ditandai banyak hal yang dapat dijadikan ukuran. Tapi yang paling pokok adalah bangsa Indonesia harus bermoral dan beretika yang sangat memahami secara tersurat dan tersirat idiologi negaranya, yaitu Pancasila yang juga menjadi way of life seluruh warga bangsa. Bangsa ini harus beridiologi di era apapun.

Salah jika ada yang mengatakan bahwa beridiologi tidak penting. Tidak perlu beridilogi berarti sama saja kita dibawa ke alam berfikir pragmatis tanpa cita-cita dan boleh jadi tanpa arah. Ber-Indonesia yang baik adalah menjadi bangsa Indonesia berkemajuan yang berpendidikan dan mampu memilih mana yang baik dan mana yang buruk dan mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil.

Ber-Indonesia yang baik mencerminkan jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia yang secara sosial dan kultural tetap mudah dikenali dan tak lapuk ditelan zaman. Indonesia tetap Indonesia. Tidak perlu ganti “baju” atau “kostum” karena alasan globalisasi.

Demokrasi adalah sebuah pengakuan keberagaman dalam konteks politik, sosial, budaya dan ekonomi, sehingga jati diri dan identitas menjadi penting di zaman kapanpun. Melangkah ke depan menuju Indonesia berkemajuan tidak mengorbankan semangat kemerdekaan, kedaulatan dan persatuan.

Dan bersatu dalam kesatuan sistem nasional yang kokoh adalah keniscayaan. Ber-Indonesia yang baik tidak membuat jiwa raga kita terbelah atau bersikap ambivalen atau berkebangsaan ganda sehingga menjadi warga negara dari negara lain oke dan tetap menjadi WNI juga oke. Kata Renhald Kashali, kini kita berada dalam lingkungan talent war sehingga pemerintah sebaiknya dapat mengantisipasi melalui kebijakannya agar dapat mempertimbangkan pemberlakuan sistem dwi kewarganegaraan.

Pandangan ini baik, tetapi tidak tepat karena nasionalisme dan patriotisme haram dibelah karena alasan pragmatisme. Apalah artinya membela kepentingan NKRI jika jiwa raganya bersifat ganda dalam hal kewarganegaraan. Ketika menghadapi talent war, solusi pemikiran yang ditawarkan semestinya bukan membuka ruang dwi kewarganegaraan.

Caranya ki ta sendiri harus melakukan capacity building melalui pendidikan dan pelatihan agar kita menjadi bangsa yang unggul di dunia.

Kita bisa bekerja dimana saja di era globalisasi ini, untuk bisa menjadi yang unggul dalam talent war yang sedang berlangsung. Tetapi tidak harus melakukannya dengan cara mengorbankan diri menjadi berkewarganegaraan ganda.

Inilah sikap pragmatis yang selalu dianggap rasional oleh sementara kalangan para pengagum globalisasi. Padahal di dalamnya selalu saja ada unsur “gombalisasi”. Dari perspektif apapun, kewarganegaraan tunggal adalah harga mati sebagai bentuk komitmen dan janji suci setiap individu untuk taat dan setia menjadi WNI tulen.

Para cerdik pandai jangan berfikir “menyesatkan”. Indonesia hanya ada satu, yaitu NKRI. WNI juga hanya satu, yaitu Warga Negara Indonesia yang tunduk pada norma dan hukum dasar yang berlaku secara nasional dan bersifat final dan mengikat.

Dalam tataran kebijakan/regulasi nasional, kita selalu menegasikan agar tidak mengabaikan kepentingan nasional. Nah kalau menjadi berwarganegara ganda, sama saja seperti bunglon. Kepentingan nasional mana yang harus dibela ketika kedua negara kebetulan sedang konflik. Budaya global itu tidak ada. Yang ada adalah budaya nasional.

Dunia itu tidak satu, tetapi ada Amerika, Eropa, Asia, Afrika dan sebagainya. Di dunia ini ada Indonesia, Nigeria, Brazilia dan lain-lain.

Semuanya mempunyai jati diri, harga diri dan cinta tanah air. Oleh sebab itu, dalam rangka apapun, Ber-Indonesia harus bersikap nasionalis. Sumpah Pemuda tidak akan pernah berubah teksnya maupun konteksnya. Ada yang berpendapat dan mencermati kondisi Indonesia dewasa ini.

Akhir-akhir ini, Indonesia menampakkan diri sebagai bangsa yang mulai luntur kebudayaannya. Jati diri budayanya nyaris runtuh. Kemandiriannya goyah oleh desakan bangsa lain. Bangsa ini mudah diatur oleh kekuatan asing dan kekuatan dalam negeri yang berseberangan dengan cita-cita bangsa.

Kini Indonesia merdeka telah berusia 71 tahun. Jika Indonesia sakit, kita wajib merawatnya. Jika NKRI diobok-obok, kita wajib membelanya. Dan bila ada yang makelaran demi kepentingan pribadi menjual aset bangsa, orang ini harus ditangkap dan dipenjarakan. Jika sampai ada yang berfikir agar koruptor yang terbukti salah supaya tidak dipenjarakan, maka yang berpendapat demikian adalah orang-orang yang keblinger dan mau enaknya sendiri.(penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

Exit mobile version