Site icon TubasMedia.com

Bisakah Nilai Tukar Rupiah Stabil?

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

MATA uang rupiah adalah milik kita. Sebagai alat pembayaran yang sah di negeri ini adalah rupiah yang seharusnya paling banyak digunakan dan bahkan seharusnya 100 persen penggunaannya sebagai alat pembayaran. Tapi apa mungkin bisa seperti itu?

Tentu tidak mungkin. Pasalnya, dalam memenuhi kewajiban internasional, bayar hutang negara /swasta, belanja impor migas, barang modal, bahan baku/penolong dan pembayaran jasa-jasa internasional, transaksinya harus dengan mata uang asing seperti dolar AS, euro, yen dsb.

Makin tinggi pertumbuhan ekonomi di negeri, maka akan makin besar pula kebutuhan mata uang asing yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban internasionalnya, ditambah kewajiban membayar pokok pinjaman hutang dan bunga yang telah jatuh tempo dan harus dilunasi.

Hutang Indonesia telah mencapai Rp 1.900 triliun atau sekitar 25,6 persen dari PDB tahun 2011. Kurs rupiah selama tahun 2012 mengalami pelemahan. Pada Januari 2012, kurs rupiah terhadap dolar AS masih sekitar Rp 8.888, di Mei 2012 sempat menyentuh Rp 9.427 per dolar AS dan bahkan penutupan pada hari Selasa 5 Mei menyentuh angka Rp 9600, mendekati angka psikologis yang patut diwaspadai.

Gejolak tersebut juga dipicu oleh terjadinya capital outflow dari para investor asing yang menjual sahamnya dan bound dari bursa yang ujungnya mengakibatkan IHSG ikut turun. Belum lagi Orang Kaya Baru (OKB) para sosialita yang hobinya belanja, juga lebih senang pegang dolar ketimbang rupiah. Belanjanya bukan di Mayestik atau pasar Jatinegara, tapi belanjanya di Singapura, Hong Kong dan Eropa.

Dalam suasana tak menentu seperti sekarang ini, pasti mereka berlomba-lomba menukarkan rupiahnya ke dolar AS. Uang hasil money laundry sebagian besar juga berupa mata uang asing, emas batangan, rumah mewah di Singapura, Eropa dan di tempat lain di dunia yang dibelinya dengan mata uang asing.

Bagaimana nilai rupiahnya mau stabil, wong mereka itu lebih senang memegang mata uang asing. Syukur nilainya terus terdepresiasi. Inilah sisi negatif kalau ekonomi suatu negara sangat tergantung faktor eksternal. Uang telah berfungsi ganda, bukan hanya sekedar alat pembayaran, tetapi juga sebagai komoditas dan menjadi alat spikulasi.

Goreng sana goreng sini yang penting untung. Tak peduli ada yang susah, boro-boro untung, buntung boleh jadi terutama bagi sebagian masyarakat yang berpenghasilan tetap. Dolar AS yang berputar di pasar uang sekitar tahun 2006 lalu, sekitar 3000 triliun dolar AS/per hari. Kalau situasinya sudah seperti sekarang, maka semua berteriak keras kepada Bank Indonesia agar dia melakukan intervensi menjaga nilai tukar tidak terlalu menguat.

Mampukah BI melakukannya? Pasti bisa tapi kan tidak bisa terus-terusan jagain karena bagaimanapun, cadangan devisa yang dikuasainya juga tidak besar-besar amatlah, paling hanya sekitar 100 milar dolar AS lebih.

Kita semua juga ikut jagain antara lain untuk sementara tidak royal untuk melakukan impor secara berlebihan (memanajemeni impor dengan efisien dan efektif), berapa direncanakan, berapa digunakan dan harus dikontrol penggunaannya. Yang penting tidak terlalu menghambat investasi dan produksi.

Stabilitas nilai tukar memang penting karena diperlukan untuk adanya jaminan kepastian dalam perhitungan biaya produksi dan pengaturan cash flow perusahaan. Tapi nyaris sulit stabilitas itu dapat berlangsung alam kurun waktu yang panjang karena interdepedensi sistem ekonomi antar negara di zaman globalisasi ini.

Masyarakat OKB dan para sosialita, para kelas menengah yang berjumlah 134 juta jiwa, harus bisa ikut mengawal rupiah agar bisa stabil nilai tukarnya. Sekarang tahan dulu, tidak usah wira- wiri menghabiskan dolar di Singapura, Hong Kong dan Eropa untuk sekedar belanja, makan pagi, makan siang dan makan malam di negara-negara tersebut.

Lebih baik belikan barang produksi nasional yang kualitasnya bagus dan harganya pantas dan bayarlah dengan rupiah. Karena ada saja para OKB, para sosialita para warga kelas menengah membayar belanjaannya memakai mata uang dolar. Minum kopi secangkir dan sepotong hot dog saja mesti pakai dolar bayarnya.

Keterlaluan namanya meskipun itu hak azasi bersangkutan. Jadi berbicara tentang pentingnya stabilitas nilai rupiah, kita boleh berharap sesuai dengan ekspektasi masing-masing, tapi jangan hanya mengandalkan intervensi BI saja untuk melakukannya.

Semua ikut bertanggungjawab, terutama para pengusaha, investor, para OKB, para sosialita dan para warga kelas menengah. Semoga Stabilitas nilai tukar bisa terjadi.***

Exit mobile version