Bisakah Tarif Parkir Atasi Kemacetan?

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

KENAIKAN tarif parkir 400 persen yang diberlakukan untuk wilayah DKI Jakarta mulai tahun 2012 ini, tidak sepenuhnya bisa menjamin membatasi pemilik kendaraan pribadi untuk keluar rumah, sepanjang belum ada alternatif angkutan pengganti. Sehingga, kebijakan tersebut praktis tidak bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, dengan asumsi mobil parkir di tepi jalan (on the road) berkurang dan jalan-jalan raya akan lebih lengang akibat volume kendaraan yang berkurang.

Sedangkan tujuan lain untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD), justru memberi peluang bagi mafia parkir liar untuk menambah pundi-pundi dengan memeras lebih dalam lagi kantong rakyat pemilik kendaraan. Sebab, pemasukan retribusi parkir yang dikelola Unit Pelaksana Perparkiran resmi Pemerintah Provinsi DKI, justru tidak pernah mencapai target, alias banyak bocor, dan bahkan defisit. Padahal, kendaraan yang menggunakan jasa parkir di pinggir jalan, jumlahnya ratusan ribu tiap hari, dan bahkan bisa mencapai jutaan unit bila ditambah lagi kendaraan roda dua dan roda empat yanbg masuk dari luar Jakarta.

Untuk itulah sebenarnya, anggota DPRD DKI Jakarta harus hati-hati menyetujui penerbitan Peraturan Daerah yang menyangkut berbagai pungutan kepada rakyat Jakarta, atau rakyat Indonesia yang sedang punya kepentingan di Jakarta. Justru lebih efektif untuk menambah PAD dan pasti masuk ke kas APBD, apabila retribusi parkir dipungut pada saat perpanjangan STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan). Tetapi, konsekuensinya Pemerintah Provinsi DKI harus menjamin parkir di tepi-tepi jalan yang bertanda bisa parkir, bebas dari pungutan. Mafia-mafia parkir liar pun, otomatis gigit jari.

Soal pungutan parkir yang tinggi juga tidak menjamin keamanan kendaraan yang diparkir, serta assuransi ganti ruginya pun tidak sebanding dengan nilai kerugian yang sesungguhnya dari pemilik kendaraan. Kabarnya, dalam Perda Parkir baru dengan kenaikan tarif 400 persen itu, bagi kehilangan mobil akan diberi ganti rugi maksimum Rp40 juta, dan untuk sepeda motor yang hilang, diberi ganti rugi maksimum Rp2,5 juta. Sedangkan bila terdapat kerusakan seperti tergores atau hilang kaca spion untuk mobil, hanya diganti rugi maksimum Rp2,6 juta, serta untuk sepeda motor maksimum Rp 400.000.

Gedung Parkir

Sesunguhnya, untuk mengurangi atau menghilangkan parkir di tepi jalan (on the road) sudah lama ada kebijakan Pemerintah DKI Jakarta untuk membangun gedung-gedung parkir di kawasan-kawasan niaga atau pusat bisnis yang ramai. PAD dari retribusi parkir pun dapat termonitor dengan baik. Area parkir di tepi jalan pun secara bertahap bisa dihapuskan. Hal itu sudah dimulai semasa Partomuan Harahap (almarhum) menjabat Kepala Badan Pengelola Perparkiran DKI Jakarta dengan membangun gedung parkir di Glodok.

Setelah Glodok di Jakarta Barat sudah direncanakan membangun minimal satu gedung parkir di masing-masing wilayah kota, misalnya di wilah kota Jakarta Pusat di kawasan Senen dan Tanah Abang; di wilayah Jakarta Selatan di Blok M Kebayoran Baru dan Mayestik Kebayoran Lama; di Jakarta Utara di Pluit dan Kelapa Gading; serta di Jakarta Timur di seputar Jatinegara. Bahkan sudah dirancang pula kerja sama dengan pihak swasta untuk membangun lebih banyak gedung parkir di pusat-pusat niaga, seperti di kawasan Pasar Baru/Sawah Besar, Gajah Mada/ Hayam Wuruk, dll.

Namun, semua rencana baik itu tidak berlanjut. Tukar gubernur, tukar kebijakan. Kemacetan lalu lintas di jalan raya semakin menjadi-jadi, akibat pertumbuhan jumlah kendaraan tidak sebanding dengan volume jalan, sehingga sebagian besar badan jalan diokupasi untuk areal parkir. Tidak tersedianya gedung parkir (off road) di sekitar pusat niaga dan perkantoran, memberi peluang bagi mafia parkir liar untuk mengeruk keuntungan. Semakin tingginya penghasilan mafia parkir liar dengan kenaikan tarif parkir ini, akan membuat mereka tidak segan mempertaruhkan nyawa bila ada yang menghalangi.

Sehingga, untuk mengurangi operasional kendaraan pribadi dan sekaligus bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, hanyalah dengan jalan menambah jumlah angkutan massal atau perbaikan fasilitas angkutan umum pengganti bagi warga kota. Antara lain menambah jumlah armada busway trasjakarta, mempercepat realisasi angkutan massal MRT (mass rapid transportation), dan jaringan KRL (kereta rel listrik) yang tepat waktu dan nyaman. Sejatinya, menaikkan tarif parkir hingga empat kali lipat, tidak akan mengurangi pengoperasian kendaraan pribadi, sebab kepemilikan kendaraan pribadi, kebanyakan karena didesak oleh kebutuhan. Naik angkutan umum harus penuh perjuangan dan tidak aman pula dari tindak kriminalitas.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS