CSR Saatnya Ditata Ulang

Loading

index

Oleh: Fauzi Aziz

KALAU meminjam istilah Muhammad Yunus pendiri Grameen Bank, CSR pada dasarnya dapat dipandang sebagai “sistem kapitalisme baru yang memihak kaum miskin” (The new kind of capitalism that serves most pressing needs). Dalam UU tentang Perseroan Terbatas secara sederhana dapat difahami sebagai konsep tanggungjawab perusahaan terhadap lingkungan sosialnya.

Besarnya dana yang harus dialokasikan dinyatakan dalam persentase tertentu dari keuntungan perusahaan. Ini mengandung makna bahwa transformasi sosial sebagian bebannya dititipkan kepada perusahaan untuk ikut memberdayakan masyarakat di sekitar perusahaan maupun di lokasi yang berbeda.

Progam ini baik, sepanjang diurus dengan baik, dalam arti murni dilaksanakan untuk memberdayakan masyarakat. Ini penting disampaikan agar tidak dipakai sebagai “mesin kongkalikong” antara perusahaan dengan pejabat pemerintah yang berkuasa. Misalnya dipakai sebagai “alat barter”. Perusahaan melaksanakan CSR, tetapi kemudian meminta kompensasi agar perusahaan dapat diberi konsesi melaksanakan proyek pembangunan, baik untuk kepentingan perusahaan maupun untuk kepentingan pemerintah.

Boleh jadi progam CSR dipakai sebagai tempat “pencucian uang” karena dana CSR umumnya dikelola oleh yayasan. Di zaman Orba banyak dibentuk yayasan, Ada yayasan super semar, yayasan amal bakti muslim Pancasila dan lain-lain. Sekarang juga banyak kalangan membentuk yayasan untuk berbagai tujuan sesuai niat para pendiri nya.

Dan pembentukan yayasan adalah sah menurut paraturan perundangan yang berlaku, yakni UU tentang yayasan. CSR tentu diperlukan dan manakala ketimpangan sosial masih sangat lebar, progam tersebut sangat membantu sebagai salah satu instrumen kebijakan sosial yang baik. Bila iklim bisnis di negeri ini makin memberikan kesempatan bagi perusahaan mencetak laba yang optimal, dana CSR yang dapat dihimpun akan makin besar.

Artinya, kesempatan untuk mengurangi kesenjangan sosial semakin terbuka lebar. Pemerintah mendapat manfaat, perusahaan mendapat manfaat dan masyarakatpun dapat menikmati dari adanya progam CSR tersebut. CSR adalah merupakan bentuk bauran kebijakan yang produktif antara kebijakan ekonomi, kebijakan bisnis dan kebijakan sosial.

Indonesia sebagai nation state tepat melaksanakan progam CSR dengan syarat harus transparan dan akuntabel dalam tata kelolanya. Prinsip good governance harus ditegakkan dan dilaksanakan dalam pelaksanaan progam CSR. Progam jaring pengaman social (social safety net) bisa diselenggarakan dengan adanya progam CSR, selalain tetap harus ada yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai amanat konstitusi.

Yang penting diperhatikan adalah tidak terjadi pembiayaan ganda. Di pemerintah disediakan APBN/APBD, di tingkat korporasi untuk progam yang sama dana CSR-nya juga dialokasikan. Pengelola dana CSR harus dikelola pihak korporasi atau yang ditunjuk oleh korporasi, tetapi tidak boleh dilaksanakan pemerintah.

Progam pemberdayaan masyarakat dan jaring pengaman sosial bisa saja dibuat  pemerintah, dengan syarat dimasukkan dalam RAPBN/RAPD dengan catatan alokasi anggarannya adalah Rp 0,- karena sumber dananya akan dibantu dana CSR sepenuhnya.

Kegiatan dan lokasinya juga secara ekplisit dinyatakan dalam RKP/RKPD. Bidang kegiatannya dibatasi pada bantuan pendidikan dan pelatihan, serta pelayanan kesehatan dan perbaikan lingkungan. Tatanan ini perlu dikembangkan konsep dan tata kelolanya agar pelaksanaan progam CSR dapat terselenggara dengan baik, efektif dan efisien.

Sebagai bauran kebijakan, sebaiknya CSR perlu diatur dalam satu UU sendiri, dipisahkan dari bagian UU tentang Perseroan Terbatas. Penulis mempunyai alasan tersendiri karena adanya satu kehendak agar progam CSR menjadi bagian dari pelaksanaan pasal 34 UUD 1945. Kesenjangan dan konflik sosial sudah waktunya ditangani secara sistemik seperti halnya pemerintah menangani masalah kesenjangan infrastruktur fisik.

Mengatasi masalah sosial dan lingkungan sosialnya adalah menjadi tanggungjawab bersama antara organisasi publik, organisasi bisnis dan organisasi nirlaba. Karena itu, kita harus mempunyai infrastruktur sosial yang baik sebagai wahana untuk pembinaan masyarakat secara sosial dan ekonomi yang kini problem sosial yang muncul kian kompleks.

Globalisasi dan liberalisasi telah menimbulkan dampak sosial yang tidak sederhana sehingga memerlukan penanganan yang baik atas dampak yang ditimbulkan. CSR sudah waktunya ditata ulang. Pemerintah bersama DPR perlu segera memberikan perhatian melalui sistem legislasi nasional yang bersifat top down agar pelaksanaan CSR di Indonesia makin bertambah baik. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

CATEGORIES
TAGS