Defisit Anggaran Sebaiknya Dinisbahkan Terhadap Porsi PDB yang Menjadi Bagian Pemerintah
Oleh : Fauzi Aziz
PERTAMA, untuk kesekian kalinya penulis mencoba bermain dengan logika sederhana tentang defisit anggaran, yang pada tahun 2020 mencapai 6% terhadap PDB. Patokan yang berlaku adalah 3% terhadap PDB. Mencapai angka 6% bukan sebuah pelanggaran kaidah karena UU tentang covid membuka ruang untuk itu.
Konsep dasar defisit anggaran umumnya diterapkan dalam kondisi ekonomi sedang krisis. Dari edukasi fiskal dipetik pelajaran bahwa suatu anggaran mengalami defisit karena pengeluaran (belanja barang dan jasa+belanja pegawai+transfer payment/subsidi) lebih besar dari penerimaan pajak+ pinjaman/obligasi dalam negeri. Selisihnya (defisit) umumnya ditutup dengan menarik pinjaman/utang luar negeri pemerintah.
KEDUA, konsep defisit dinisbahkan dengan PDB menurut hemat penulis tidak realistik, tetapi tidak berarti menjadi konsep yang salah. Hal ini karena PDB itu memang dihasilkan di suatu negara, tetapi sesungguhnya secara konsep jika didistribusikan menjadi haknya bagi banyak institusi ekonomi yang menjalankan kegiatan dan proses ekonomi di suatu negara.
Secara sederhana berarti merupakan bagian-bagian pendapatan yang akan diterima dalam bentuk gaji upah pekerja, keuntungan dan deviden bagi pemegang saham dan investor, pajak yang menjadi haknya negara, serta sebagian disisihkan sebagai dana cadangan untuk re -investasi bagi perusahaan.
KETIGA, karena itu, dengan logika sederhana setelah proses distribusi berlangsung, maka pada periode satu tahun anggaran masing-masing pihak akan menerimanya sebagai pendapatan. Sejalan dengan ini, maka dalam rezim kebijakan fiskal, pendapatan pemerintah itu, antara lain berupa pajak, bea masuk, cukai, pengelolaan sumber daya alam dan aset, setoran deviden BUMN, hibah dan sumber pendapatan lain yang sah.
Mestinya ratio utang luar negeri pemerintah dan ratio defisit anggaran dinisbahkan nya dengan pendapatan yang telah menjadi bagiannya pemerintah. Jika misalnya total nilai PDB itu pada tahun tertentu Rp 15.000 triliun dan katakan yang menjadi bagian pemerintah adalah 40% atau menjadi = Rp 6.000 triliun, maka mestinya ratio defisit anggaran 3% dinisbahkannya terhadap Rp 6.000 triliun, yang berarti angka defisitnya menjadi Rp 180 triliun maksimal yang dapat ditutup dengan utang luar negeri pemerintah.
Sebab kalau dinisbahkan dengan total angka PDB Rp 15.000 triliun, maka defisitnya menjadi Rp 450 triliun dan angka ini yang akan ditutup dengan utang luar negeri pemerintah. Kalau menurut hemat penulis ratio tersebut tidak realistik karena pendapatan yang menjadi bagian pihak lain dijadikan dasar perhitungan defisit anggaran.
Dan jika misalnya kita terapkan dalam menghitung ratio utang terhadap pendapatan yang menjadi bagiannya pemerintah, maka utang luar negeri pemerintah yang telah mencapai Rp 6.000 triliun, maka berarti ratio utang terhadap PDB haknya pemerintah menjadi 100% .
Artinya total pendapatan negara akan habis untuk bayar utang luar negeri, yang artinya negara bisa bangkrut. Kekayaan negara yang katanya telah mencapai Rp 10.000 triliun akan menjadi tidak bermakna, dan pasti menjadi sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan status invesment grade.
KEEMPAT, apa yang penulis sampaikan ini hanya sebuah imajinasi dan oleh pikir sederhana dan pasti anti mainstream, meskipun sebenarnya barangkali hal yang dibahas ini realistik. Maka dari itu jika ada ratio utang luar negeri dinisbahkan dengan hasil ekspor barang dan jasa yang kita kenal dengan debt service ratio, maka ratio ini tepat dan realistik karena ukurannya adalah pendapatan hasil ekspor, tidak menggunakan nisbah terhadap PDB.
Jadi semua menjadi jelas dan benar menurut akal sehat, tapi belum dapat bisa diklaim sebagai kebenaran sesuai norma umum dalam kerangka kebijakan fiskal yang hingga kini menjadi patokan yang umum di pakai secara internasional, yaitu ratio utang adalah 60% terhadap PDB dan ratio defisit anggaran adalah 3% terhadap PDB.
KELIMA, ratio tersebut produk dari perjanjian Maastrich 1997. yang kemudian Indonesia mengendorsnya dalam UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003 yang tercatat dalam penjelasan pasal 12 ayat (3) yang berbunyi : dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
Perjanjian Maastrich itu sendiri adalah terjadi pada tahun 1992 yang menandai berdirinya Uni Eropa (UE). Perjanjian ini telah mendorong lahirnya lembaga-lembaga baru di zona Eropa seperti Komisi Eropa, Dewan Eropa, Mahkamah Eropa, Bank Sentral Eropa, dan Parlemen Eropa yang berperan menjamin misi UE berjalan sesuai rencana, yaitu UE sebagai zona Damai dan Makmur.
KEENAM, Indonesia hingga kini menganut rezim defisit anggaran dan tindakan ini adalah pilihan kebijakan. Menjadi soal bila defisit anggaran yang sangat besar akibat ratio di longgarkan dari 3% menjadi 5%, maka berpotensi menimbulkan gangguan serius pada kondisi keuangan pemerintah.
Bahkan bukan tidak mungkin pemerintah Indonesia bisa mengalami (default) atas surat-surat utang yang telah diterbitkan selama ini. Pengalaman di banyak negara dapat menjadi pelajaran berharga bahwa untuk memulihkan ekonomi dan risiko default, pemerintah menarik utang baru, walaupun mengandung konsekwensi membuat utang akan bertambah banyak.
Sekarang sudah mencapai 39,1% terhadap, next kata menkeu berpotensi tembus 40% terhadap PDB yang nilai PDB nya sendiri turun dari Rp 15.833 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 14.97,7 triliun di tahun 2020. Otomatis pendapatan per kapita turun dari USD 4174,5 menjadi USD 3911,7. Sehingga World Bank masih menempatkan posisi Indonesia sebagai negara dengan pendapatan kecil-menengah dengan jumlah utang besar, nomor 6 di dunia.
Utang yang makin bengkak menjadi beban APBN meningkat dan keberlanjutan fiskal akan terganggu karena terbelenggu oleh utang yang makin besar. Karena itu, penerapan disiplin anggaran menjadi fardu a’in untuk menjamin terwujudnya keberlangsungan fiskal dalam jangka panjang.
Breakthrough strategy yang coba penulis tawarkan adalah agar defisit anggaran sebaiknya dinisbahkan terhadap PDB yang menjadi bagian pemerintah. Ini lebih realistik, masuk akal, tapi memang berfikir dalam bingkai anti mainstream.
Tapi dengan berpikir semacam itu, semoga kita tidak terjebak pada persoalan overborrowing yang bisa berakibat terjadinya overlanding yang dapat berujung terjadinya moral hazard antara debitur dan kreditur. Salam sehat.* (penulis adalah pemerhati ekonomi dan industri, tinggal di Jakarta)