Di Tengah Merebaknya Wabah Covid 19, Penjualan Jamu Tradisonal Meningkat

Loading

 

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Upaya preventif masyarakat mengonsumsi jamu dan minuman kesehatan di tengah wabah virus corona atau Covid-19, membuat bisnis empon-empon atau ramuan rempah naik daun.

Rupanya tren itu tak hanya ramai dan semarak di dalam perbincangan whatsApp grup masyarakat tetapi faktanya masyarakat benar-benar mulai membiasakan minum ramuan jamu.

Hal ini terbukti dengan harga jahe di pasaran yang kini semakin meroket menyentuh Rp100.000 per kg dari normalnyanya sekitar Rp20.000 per kg.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu) Dwi Ranny Pertiwi mengkonfirmasi penjualan produk jamu meningkat. Bahkan khusus untuk produk simplisia atau rempah kering kenaikannya hingga 50 persen dari sebelum munculnya wabah virus corona.

“Di pasar lokal jamu yang untuk menjaga stamina atau daya tahan tubuh dengan bahan baku utama jahe, kunyit, temulawak juga permintaannya meningkat pesat,” katanya pekan lalu.

Dwi mengemukakan untuk pasar ekspor saat ini belum sepenuhnya berjalan normal, hanya sejumlah perusahaan jamu besar yang masih menerima transaksi. Dia pun memastikan saat ini produksi jamu dan obat herbal sudah meningkat sekitar 10 persen untuk memenuhi permintaan pasar.

Menurut Dwi, pelaku industri saat ini juga tengah bersiap dengan kenaikan bahan baku akibat pelamahan rupiah terhadap dollar. Sejauh ini, dari sisi kecukupan bahan baku, Dwi mengaku masih aman hingga dua tiga bulan ke depan.

Direktur Eksekutif GP Jamu Jawa Tengah Stefanus Handoyo Saputro menambahkan jumlah pelaku industri jamu di Jawa Tengah atau yang termasuk Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) ada tujuh, sementara yang termasuk industri obat tradisional  ada 17 pelaku.

Untuk pelaku usaha kecil obat tradisional sebanyak 82 industri. Terakhir yang sudah terdata sebagai UMOT atau usaha mikro obat tradisional ada 34 produsen.

Namun meski produsen semakin berkembang, Stefanus mengatakan, masih ada permasalahan dan tantangan industri jamu saat ini.

Di antaranya, keterbatasan ketersediaan bahan baku yang memenuhi persyaratan, perkembangan ilmu dan teknologi yang berbenturan dengan regulasi dan menghambat pengembangan produk, serta industri farmasi yang mulai ekspansi ke industri jamu yang lebih canggih dalam proses produksinya.

Saat ini GP Jamu pun terus menjalin kerjasama dengan petani tanaman obat baik dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) maupun Lembaga Masyarakat Desa Hutan untuk menanam tanaman jahe, kencur, temulawak, dan lainnya.

“Dampak Covid-19 untuk industri jamu memang menjadikan peningkatan cukup drastis, tetapi industri untuk produksi terdampak mengalami kesulitan mencari bahan baku yang saat ini banyak dibeli oleh masyarakat untuk direbus sendiri,” katanya.

Selain itu, Stefanus juga mengemukakan pihaknya terus melakukan antisipasi agar bahan baku jamu atau obat tradisional yakni komoditas rempah mentah jangan diekspor. Pasalnya, selama ini produk hulu terekspor lewat perjanjian dagang.

Untuk itu, menurut Stefanus menjadi tantangan bagi pemerintah agar bisa mengintervensi dipengembangan industri hulu. Menurutnya, industri hulu merupakan proses yang penting untuk menuju swasembada bahan baku apalagi dalam kondisi meningkatnya permintaan pasar saat ini.

“Oleh karena itu kami saat ini juga terus bicara dengan Dinas Perdagangan jangan sampai di ekspor dulu agar kebutuhan industri terpenuhi. Kami pun akan terus menggencarkan industri hulu dengan kerjasama lintas sektor sehingga dapat tercapai kemandirian bahan baku obat tradisional,” ujar Stefanus. (red)

 

CATEGORIES
TAGS