Dilema dan Trade Off Daya Saing

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

INDONESIA telah menjadi anggota WTO. Dengan demikian secara terbuka telah mengikatkan diri untuk mengikuti seluruh aturan main dalam sistem perdagangan multilateral yang basisnya free trade. Begitu pula secara aktif ikut pula dalam forum kerjasama APEC dan Masyarakat Ekonomi Asean yang prinsip dasarnya juga membuka diri untuk melakukan perdagangan bebas di kawasan.

Belum lagi kerjasama FTA antara Asean dan China, Asean Australia dll, termasuk yang secara bilateral antara Indonesia dan Jepang. Kita tahu bahwa kesemuanya itu akan banyak memberi manfaat bagi Indonesia jika faktor daya saing yang dimilki tinggi. Tapi faktanya Indonesia cukup punya masalah yang sangat fundamental dalam sistem perekonomiannya, yaitu secara umum faktor daya saing dengan ukuran apapun yang dipakai sangat rendah.

Ekonominya berbiaya tinggi, pelayanan publiknya masih buruk, korupsinya merajalela dan regulasinya tidak harmonis satu sama lain. Inilah dilema dan sekaligus trade off yang menjadi hambatan dan ancaman bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi nasional. Dilema dan trade off tersebut sekaligus menghasilkan paradoks yang bersifat struktural dalam arti ke dalam memang Indonesia mempunyai persoalan inefisiensi ekonomi sehingga berdampak pada rendahnya daya saing dan keluar dengan penuh percaya diri menyatakan siap untuk ikut aktif bermain dalam perdagangan bebas yang syaratnya harus berdaya saing.

Jika pemerintah, DPR dan para pemangku kepentingan tidak serius membenahi persoalan ekonomi dalam negeri yang tidak efisien ini, maka sistem perdagangan bebas yang sudah dianut akan menjadi “malapetaka” bagi kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan.

Dilema, trade off dan kondisi paradoks tersebut bisa menjadi ancaman serius bagi utuhnya kedaulatan, kemandirian dan ketahanan ekonomi nasional. Seminar internasional yang bertema “Menghindari Perangkap Negara Berpendapatan Menengah” yang diselenggarakan Bappenas dan Kemenkeu di Bali 12 Desember 2013 antara lain menyatakan bahwa Indonesia akan stagnan sebagai negara berpendapatan menengah jika 20 tahun mendatang tidak naik kelas ke negara berpendapatan tinggi.

Transformasi struktural sebagai kuncinya masih menghadapi sejumlah tantangan di berbagai sektor. Hasil seminar tersebut bisa dianggap sebagai salah bentuk dilema dan trade off daya saing nasional yang menghadang negeri ini dan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk membenahinya.

Daya saing nasional harus naik kelas agar neraca pembayaran Indonesia aman. Upaya ini akan dapat dicapai bila terjadi harmonisasi antara kebijakan investasi,industri dan perdagangan sebagai sebuah cluster policy. Tidak cukup hanya ini karena cluster policy tersebut masih perlu di dukung adanya kebijakan makro ekonomi yang pro bisnis, infrastruktur yang berkualitas dan kebijakan kerangka kelembagaan yang efisien dan satu sama lain sinkron.

Dilema dan trade off daya saing ini harus benar-benar menjadi perhatian pemerintah untuk diatasi bersama agar bisa menaikkan tingkat produktifitas perekonomian secara keseluruhan. Produktifitas yang rendah tentu akan berdampak pada rendahnya tingkat keuntungan yang diraih perusahaan.

Di lain pihak akan berakibat pula para investor enggan untuk melakukan investasi dalam jumlah yang besar. Dampak berikutnya tentu akan berakibat pula potensi penerimaan negara dari pajak akan menjadi terbatas sehingga kemampuan pemerintah untuk membangun infrastruktur menjadi terkendala seperti yang sekarang ini terjadi.

Semua berpulang kepada kita dan pertanyaannya adalah maukah kita keluar dari perangkap dilema dan trade off daya saing. Jika daya saing dan produktifitas kita yakini sebagai faktor penting yang harus kita wujudkan, maka jawabannya tentu kita harus rela melakukan transformasi yang bersifat mendasar, baik pada tataran kerangka kebijakan dan kerangka regulasi maupun pada tataran progam dan implementasinya. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS