Diskresi Lebih Ampuh dari Regulasi dan Subsidi

Loading

Oleh Fauzi Aziz
pasar

KITA harus terus putar otak membantu pemerintah mengatasi masalah pasar, khususnya pasar barang kebutuhan pokok yang tanda-tandanya mekanismenya tidak mampu bekerja baik. Indikasi adanya kartel oleh KPPU sudah dinyatakan terbukti, yaitu ada 32 perusahaan telah dikenakan sanksi denda yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah. Tapi, tindakan ini tidak menyelesaikan masalah, buktinya, tahun ini harga daging tetap tinggi, rata- rata mencapai Rp 120.000 per kg di pasar ritel.

Apalagi instrumen kebijakan yang bisa dipakai agar stabilisasi harga bahan pokok benar-benar dilakukan oleh pemerintah? Teorinya sudah jelas, jika pasar mengalami kegagalan mengurus dirinya, maka pemerintah diperbolehkan intervensi. Alat intervensi apa dan apakah pemerintah punya alatnya? Kita harus jujur mengatakan bahwa pemerintah sejatinya punya alatnya, yakni regulasi dan subsidi. Tapi, keduanya tidak ampuh. Buktinya KPPU sudah menjalankan fungsinya sesuai regulasi ternyata tetap tidak mampu mengatasi gejolak harga.

Bagaimana dengan subsidi? Kalau kita anggap operasi pasar yang dilakukan Bulog sebagai mekanisme subsidi, maka harga rendah hanya terjadi di titik di mana operasi pasar dilakukan. Sesudah tidak ada operasi pasar, harga kembali naik. Artinya instrumen ini tidak efektif juga sebagai alat untuk balancing harga.

Bagaimana dengan menggunakan diskresi pemerintah yang paling maksimal, misalnya, melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) bagi perusahaan yang dengan sengaja menimbun barang? Instrumen ini boleh dicoba sepanjang pemerintah mampu melaksanakan market intelligent dengan baik. Tindakkan OTT adalah diskresi pemerintah. Pelakunya ditangkap, barang yang ditimbun dikuasai negara, dan dilepas ke pasar melalui Bulog. Begitu pula terhadap barang dari luar negeri yang masuk ilegal, dikenakan tindakan yang sama. Bulog sendiri fungsinya dikembalikan ke seperti zaman Orba dan langsung di bawah kendali presiden.

Fungsi Bulog berubah karena rekomendasi IMF tatkala kita terdampak krisis likuiditas Asia tahun 1998. Kalau sekarang difungsikan kembali seperti semula tindakan pemerintah tidak salah dan konstitusional. Presiden adalah pengelola kebijakan fiskal. Presiden berarti mempunyai diskresi untuk menggunakan instrumen fiskal sebagai bagian pelaksanaan mekanisme fiskal untuk menjaga stabilisasi harga bahan pokok bagi kepentingan rakyat banyak, tanpa harus mendapatkan persetujuan DPR.

Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah. Fungsi diskresinya dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh presiden dengan mengacu pada ketentuan tersebut. Langkah ini menjadi setara dengan kewenangan Gubernur BI sebagai pengendali stabilitas moneter. Mekanismenya diperpendek dan presiden langsung menugaskan Bulog melakukan intervensi pasar, dan memerintahkan Menteri Keuangan sebagai bendaharawan negara langsung menyediakan dana untuk intervensi pasar yang dilakukan Bulog.

Sekarang ini, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negera, hak diskresinya dimandulkan oleh regulasi, sehingga ketika terjadi krisis atau pasar mengalami kegagalan, Presiden tidak bisa bertindak cepat. Situasi seperti sekarang Presiden terbelenggu oleh mekanisme regulasi yang ketat, sehingga keputusan penting dan strategis berkaitan dengan menjaga stabilitas ekonomi, Presiden menjadi tidak dapat bertindak cepat.

Jika fungsi diskresi tidak ada pada tangan Presiden, maka tahun depan kita akan bertemu kasus serupa. Sepertinya pemerintah lemah dipermainkan oleh pasar. Padahal, Jhon Mydral Keynes telah memberikan jalan, yakni lakukan intervensi yang maksimal ketika mekanisme pasar gagal bekerja. Keynes menganjurkan adanya peran positif untuk dimainkan oleh pemerintah dalam rangka mengurangi kesengsaraan yang diakibatkan oleh siklus bisnis melalui pengelolaan yang cekatan terhadap pasokan uang dan kebijakan anggaran. Anjuran Keynes ini pas untuk menjadi referensi Presiden dalam menjalankan fungsi diskresinya menghadapi gejolak harga bahan pangan di dalam negeri.

(Penulis adalah pemerhati masalah sosial, ekonomi dan industri)

 

CATEGORIES
TAGS