Site icon TubasMedia.com

DISKUSI SOSOK CAPRES-CAWAPRES SOLUTIF Mampu Ciptakan Industri Andalan

Loading

Laporan: Redaksi

ilustrasi

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Presiden mendatang menghadapi masalah yang sangat kompleks, di antaranya di bidang politik-keamanan, ekonomi dan penegakan hukum. Salah satu di antaranya, menghadapi berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA pada akhir 2015. Dalam MEA, jasa dan produk negara-negara ASEAN akan membanjiri pasar Indonesia. Presiden lima tahun ke depan hendaknya mampu mewujudkan kesejahteraan, di antaranya, dengan menciptakan industri-industri andalan.

Demikian petikan bahasan dari diskusi publik bertajuk “Sosok Capres- Cawapres yang Solutif bagi Permasalahan Bangsa Lima Tahun ke Depan” yang diselenggarakan EmrusCorner di Restoran Haropa, Jakarta, Kamis (19/6). Tampil sebagai pembicara, peneliti senior dan pengamat politik dari LIPI, Indria Samego, pengamat politik dari Unpad, Obsatar Sinaga, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Victor Silaen, serta Emrus Sihombing, dengan moderator Hilman Mattauch.

Indria Samego mengatakan, Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang dapat menyelesaikan masalah yang sangat kompleks. Dalam hal ini, tidak ada negara lain yang dapat dijadikan contoh untuk memecahkan masalah tersebut. Amerika pun, yang juga negara demokratis dan majemuk, tidak dapat kita jadikan sebagai contoh. Para founding fathers kita pernah melihat AS sebagai contoh, tapi kemudian tidak dapat dilanjutkan. Soalnya, masalah yang dihadapi Indonesia berbeda. Salah satu di antaranya, tingkat persebaran penduduk, yang tidak hanya di Pulau Jawa dan Sumatera, tapi juga di daerah-daerah lain seperti Indonesia bagian timur.

Ia berpendapat, apa yang disampaikan oleh capres dan pendukungnya dalam masa kampanye belum membumi dan belum menyentuh akar rumput. Hanya semacam shopping list. Hanya what to do, belum how to do. Terkait dengan itu, visi dan misi tidak perlu ambisius. Dalam mencari identitas diri tidak selesai hanya dengan persoalan melihat perbedaan, tapi persamaan. Selama kampanye sering ditampilkan perbedaan. Selain itu, ada fenomena mengeksploitasi kebodohan dan ketakutan. Sebenarnya, persoalan mendasar yang kita hadapi adalah konsolidasi demokrasi. Sudah empat kali diselenggarakan pemilu setelah era Reformasi. Tapi, apakah sudah ada perubahan?

Ia mengatakan, perubahan yang kita capai dalam berdemokrasi memang sudah terlihat, tapi baru dalam bentuk pemilu langsung. Itu demokrasi secara prosedural. Sedangkan secara substansial belum berubah. Proses demokratisasi belum memperhatikan masyarakat. Sekarang baru tahap, bagaimana supaya menang, bukan bagaimana menggunakan kekuasaan untuk kepentingan rakyat.

Pangan dan Energi

Obsatar Sinaga mengemukakan, presiden mendatang harus mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengatasi masalah pangan dan energi. Itu berarti, meningkatkan infrastruktur, yang saat ini masih tergolong rendah. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kita memerlukan lebih banyak bandara, pelabuhan laut, jalan, dan lain sebagainya. Sekarang kondisi insfrastruktur masih rendah, karena anggarannya juga rendah.

Dikemukakan, kemiskinan sesungguhnya berada di perdesaan, bukan di perkotaan. Dalam hal ini kemiskinan yang meliliti kalangan nelayan dan petani. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat memotong mata rantai kemiskinan dengan memberikan bantuan untuk meningkatkan produksi.

Ia mengatakan, masalah MEA, mau tidak mau harus kita terima, karena sudah menjadi kesepakatan ASEAN. Harus dicari solusi untuk mengatasinya. Kalau tidak, pasar kita akan ditenggelamkan oleh produk negara-negara lain.

Dikemukakan, pemimpin mendatang harus menciptakan industri-industri andalan, yang benar-benar milik Indonesia, mengembangkan pariwisata, dan memperkuat infrastruktur. Pemimpin mendatang harus dapat diterima oleh negara-negara tetangga dan menjalankan soft diplomacy. Ia juga mengingatkan, dalam menegakkan hukum dan keadilan, sosok pemimpin ke depan harus memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang Victor Selaen, antara lain, berpendapat, pemimpin mendatang harus hadir pada setiap masalah yang dihadapi rakyat.

Sementara itu, Emrus Sihombing, yang juga pengamat komunikasi dari UPH, mengatakan, kita memerlukan pemimpin yang mau mendengar. Dengan mendengar, berarti punya empati, dapat menangkap sinyal, memaknai, dan memberikan solusi. (ender/apul)

Exit mobile version