Dua Strategi Menuju Industri Hijau

Loading

20150305Seminar-Inaplas-002

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Menteri Perindustrian Saleh Husin mengungkapkan dua strategi dalam mewujudkan industri hijau. Pertama, mengembangkan industri yang suah ada menuju industri hijau. Kedua, membangun industri baru dengan menerapkan prinsip industri hijau.

Hal tersebut disampaikan Menperin dalam paparannya pada acara Tropical Landscapes Summit: A Global Investment Opportunity di Jakarta, Selasa (28/4/2015).

Pengembangan industri menuju industri hijau dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain, pertama, rencana penerapan lima standar industri hijau, yaitu tekstil, ubin keramik, semen, baja, serta pulp dan kertas. Kedua, katalog bahan baku ramah lingkungan untuk industri tekstil, ubin keramik, dan makanan. Ketiga, pedoman umum dan teknis konservasi energi dan pengurangan emisi gas CO2. Keempat, panduan teknis studi kelayakan untuk implementasi Konservasi Energi dan Pengurangan Emisi CO2. Kelima, panduan pengolahan limbah cair, bahan berbahaya, dan beracun (B3).

Keenam, panduan produksi bersih. Ketujuh, program restukturasi mesin untuk industri gula, industri tekstil dan produk tekstil serta industri kulit dan alas kaki yang telah dilakukan sejak 2007. Kedelapan, pemberian penghargaan Industri Hijau sejak 2010 dan pada 2014 telah diberikan penghargaan kepada 256 perusahaan.

Sedangkan untuk pembangunan industri baru akan diterapkan prinsip-prinsip Industri Hijau dalam proses produksi, seperti penggunaan bahan baku, energi, dan air yang efisien.

“Insentif yang bisa diberikan untuk industri yang telah menerapkan industri hijau berupa peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) perusahaan industri, dukungan promosi, serta penyediaan tenaga ahli audit energi, air dan bahan baku,” tegas Menperin, seperti dikutip dari siaran pers Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenperin, Hartono, Selasa sore.

Menurut Menperin,  konsep industri hijau mengutamakan efisiensi dalam proses produksi dengan karakteristik sebagai berikut: penggunaan material, energi, dan air dengan intensitas yang rendah; penggunaan energi alternatif; meminimalisasi limbah dan pemenuhan baku mutu lingkungan; menggunakan teknologi rendah karbon dan SDM yang kompeten.

“Dengan penerapan industri hijau melalui penggunaan teknologi rendah karbon tentunya akan memberikan dampak penghematan energi, air, dan bahan baku. Selain itu, akan meningkatkan produktivitas dan menghasilkan limbah yang lebih sedikit,” katanya.

Berdasarkan data, pada 2050, dunia akan membutuhkan 55 persen air lebih banyak, 60 persen tambahan makanan, 70 persen lebih energy, dan 100 persen tambahan energi listrik. Data itu diperkuat laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2014 yang menyatakan, akan dihasilkan lebih dari 36 miliar metrik ton karbondioksida yang dapat menyebabkan peningkatan temperatur sebesar 3 derajat celcius atau lebih pada akhir abad ini; terjadi defisit kebutuhan air bersih, mengingat kebutuhan air bersih akan mencapai 2 miliar kilometer kubik, sementara ketersedian air bersih di bumi sekitar 1,4 miliar kilometer kubik; kebutuhan energi diperkirakan menjadi 3 kali lipat dari jumlah energi yang digunakan saat ini; populasi diperkirakan akan melampaui 9 miliar; dan 60 persen dari ekosistem akan rusak dan tidak dapat diperbarui.

“Saat ini sumber daya alam semakin berkurang, permintaan semakin tumbuh akibat pertumbuhan populasi, mesin dan sistem produksi kurang efisien, adanya kesepakatan tentang lingkungan hidup global dan terjadinya degradasi lingkungan. Hal ini menyebabkan kita tidak bisa lagi melaksanakan proses business as usual. Oleh karena itu, industri hijau salah satu solusi yang diharapkan,” katanya. (ender)

 

CATEGORIES
TAGS