Dugaan Korupsi di Kantor Kominfo yang Merugikan Negara Rp 10 Triliun, Ditelusuri Kejagung

Loading

Menteri Kominfo Johnny Gerard Plate bersama Ketua Umum Nasdem Surya Paloh

 

JAKARTA, (tubasmedia.com)  – Kejaksaan Agung tengah menelurusi dugaan kasus korupsi proyek base transceiver station atau BTS yang digarap Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo. Pihak-pihak yang berkaitan dengan proyek menara itu pun telah dipanggil, termasuk Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).

“Semuanya sudah, dari pihak yang dipanggil BAKTI ada, rekanan ada, cuma kita masih dalam proses pendalaman,” kata sejumlah sumber di Kejaksaan Agung seperti dilansir Tempo, 30 Oktober 2022.

Sumber-sumber di Kejaksaan Agung tersebut menceritakan, pemanggilan ini dilakukan untuk menggali informasi mengenai permasalahan dugaan rasuah secara mendalam dan komprehensif. Namun, sumber belum menggamblangkan siapa saja pihak-pihak yang memenuhi panggilan.

Proses pemanggilan pihak-pihak ini pun, menurut sumber yang sama, dilakukan sejak beberapa bulan lalu. Sebab sebelumnya, Kejaksaan Agung sudah mengendus dugaan adanya tindak pidana korupsi yang berpotensi merugikan negara itu sudah cukup lama.

“Itu sebenarnya informasi sudah masuk lama. Sebenarnya kita sudah ambil info banyak lah. Nah nanti itu tinggal tunggu waktu, tunggu aja semua akan indah pada waktunya,” ujar sumber di Kejaksaan Agung.

Total indikasi korupsi yang telah didengungkan Kejaksaan Agung dari proyek BTS yang senilai Rp 28,3 triliun itu sekitar Rp 10 triliunan. Namun besaran kerugian negara ini masih diselidik lebih lanjut dari berbagai masalah yang selama ini melingkupi proses pelaksanaan proyeknya hingga digarap konsorsium.

BPK Mengaudit

“Nah kita lagi inventarisasi nih tidak hanya salah satu konsorsium, siapa tahu ada di proses pelaksanaannya, ada di macam-macam lah, jadi kita lagi telusuri satu per satu tuh untuk menentukan ini kerugiannya berapa dan sumbernya dari mana,” ujar sumber Kejaksaan Agung.

Pada Juni lalu, Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK telah berencana mengaudit proyek pembangunan BTS. Proyek yang tengah digarap Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) itu molor dari target.

Audit akan dilaksanakan lantaran pembangunan BTS menggunakan skema kontrak tahun jamak atau multiyears. Proyek tersebut sudah berjalan selama tiga tahun dan telah memasuki masa audit.

Proyek yang diinisiasi sejak akhir 2020 ini direncanakan menyentuh 7.904 titik blankspot serta 3T atau terdepan, terluar dan tertinggal hingga 2023. Pembangunan tersebut terbagi atas dua tahap. Tahap pertama, BTS ditargetkan berdiri di 4.200 lokasi dan penggarapannya semestinya telah rampung pada 2022. Sedangkan sisanya diselesaikan sampai 2023.

Namun hingga kuartal II 2022, BAKTI tercatat baru merampungkan 2.060-2.070 tower untuk tahap pertama.

“Itu yang sudah on air,” kata Kepala Divisi Infrastruktur Lastmile Backhaul BAKTI Feriandi Mirza di kantornya, Jakarta Selatan, 3 Juni lalu.

Feriandi mengatakan ada berbagai hambatan yang dialami oleh pekerja di lapangan baik di daerah Papua dan non-Papua. Di wilayah luar Papua, dia bercerita penyelesaian proyek pembangunan BTS sempat terganggu oleh pandemi Covid-19 yang mempengaruhi rantai pasok.

Selama wabah meruak, kontraktor BTS kesulitan mendapatkan perangkat microchip yang masih banyak diimpor dari negara lain, seperti Cina. “Karena perangkat (telekominukasi) ini mostly 100 persen masih impor,” katanya.

Pasokan perangkat telekomunikasi dari negara-negara produsen microchip menyusut lantaran produksi berkurang. Ditambah lagi, lalu-lintas logistik dari satu negara ke negara lain terganggu karena kebijakan lockdown.

Sementara itu di wilayah Papua, penyelesaian pembangunan BTS sempat terkendala oleh beberapa masalah. Misalnya, soal keamanan. Feriandi bercerita entitasnya sempat diminta menghentikan sementara proyek pembangunan BTS oleh Kepolisian Daerah Papua setelah tragedi penembakan delapan pekerja Palapa Ring Timur.

Segel Tower

“Plus ada kejadian lain, insiden kecil di berbagai area di Provinsi Papua. Intinya kamu bukan ingin menempatkan pekerja di risiko yang sama,” ucap dia. Selain masalah keamanan, Feriandi menyinggung persoalan geografis di beberapa titik di Papua yang sulit dijangkau dengan akses darat.

Masalah penyelesaian BTS di wilayah non-Papua yang digarap konsorsium Fiberhome menjadi sorotan. Sebab, subkontraktor konsorsium pemenang tender Fiberhome, yakni PT Semesta Energy Services (SES), menyegel tower di beberapa titik di Natuna dan NTT karena belum menerima pembayaran dari Pool Konstruksi Terbarukan. Padahal pekerjaannya sudah hampir rampung. PKT sebelumnya menyerahkan 206 sites pekerjaannya kepada SES.

Pada Maret 2022, SES tercatat mengerjakan 61,7 persen, namun pembayarannya baru dipenuhi 35 persen. Bakti kemudian memanggil Fiberhome akibat sengkarut masalah pembayaran subkontraktor sampai di meja Menteri Kominfo. SES berkirim surat kepada Menteri Kominfo Johnny Gerard Plate pada April 2022. (sabar)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS