Site icon TubasMedia.com

ELING LAN WASPODO

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

PANAS, air mulai mongering, pertanda ekosistem bumi makin tidak terkendali. Semua ini terjadi karena ulah manusia, yang secara sadar atau tidak sadar telah merusak lingkungan.

Yang panas dan yang mulai mengering ternyata juga terjadi dalam lingkungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang “ekosistemnya” dirusak sendiri oleh kalangan elite politik. Demokrasi di Indonesia sedang mendapat ujian berat karena para elite politik sedang menyukai bermain api dalam berpolitik. Etika politik dan sistem politik yang dibangunnya sendiri melalui lembaga politik formal, seperti DPR, dalam berbagai kondisi dilanggar demi kekuasaan/mengamankan kepentingan politiknya.

Demokrasi dipahami secara subjektif, menurut nalarnya sendiri. Gonta-ganti parpol atas nama demokrasi dianggap hal biasa, karena dianggap merupakan hak asasi dalam berpolitik. Loyalitas kepada organisasi dianggap tidak perlu atau tidak penting, karena parpol hanya dipakai sebagai “angkutan umum” yang bisa dinaiki siapa saja, dan bisa turun/naik kapan saja sesuai dengan selera politiknya atas nama hak demokrasinya yang dipahami secara subjektif.

Partai dibangun bukan atas dasar idiologi yang kuat untuk diperjuangkan sebagai platform, tetapi hanya dipakai sebagai kendaraan politik yang bisa ditumpangi siapa saja, yang penting “mampu membayar ongkos politiknya”. Kalau demikian kondisinya terus-menerus, maka kalangan elite politik yang wataknya seperti itu yang akan merusak sistem demokrasi di negeri ini.

Para elite politik yang paling bertanggung jawab atas salah mengurus tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat hanya diperalat untuk kepentingan politik mereka yang dibungkus atas nama kedaulatan dan demokrasi. Kalangan elite politik negeri ini sedang bermain api kekuasaan yang di balik itu terselimuti kepentingan lain untuk mencukupi kebutuhan material bagi dirinya dan komparadornya yang ingin menguasai Indonesia dengan menggunakan pola kerja sama “korporatokrasi” gaya baru dengan kalangan penguasa/elite politik yang mabuk kekuasaan dan harta.

Korporatokrasi yang membuka peluang KKN pada proyek-proyek migas, minerba dan sumber daya laut, dan proyek-proyek legislasi di DPR, yang dijalin dengan menggunakan operasi senyap di ranah politik. Padahal, semua itu dilakukan untuk mengerdilkan kekuatan Indonesia di panggung global. Kekayaan alam milik anak negeri dijarah untuk memuaskan keuntungan material para kapitalis global yang memandang Indonesia sebagai negara demokrasi yang rapuh dan gampang dijarah.

Efeknya, pasti dapat membangkrutkan Indonesia, sehingga anak negeri ini hanya akan bisa meratapi nasibnya di waktu mendatang. Oleh sebab itu, “eling” (ingat) bahwa Indonesia dengan sistem demokrasi liberal yang rapuh sedang “dikepung” oleh kepentingan kapitalisme global yang ingin menguasai sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada kita untuk kemaslahatan bersama seluruh rakyat. Ini bukan rahasia lagi, karena informasinya sudah banyak diketahui di ruang publik.

Amat Strategis

Prof Dorodjatun Kuntjoro-Jakti PhD dalam bukunya berjudul Menerawang Indonesia pada Dasawarsa Ketiga Abad ke 21 mengatakan, sebagai sebuah negara yang sedang berkembang yang telah dimasukkan ke dalam kelompok “povital states” oleh sejumlah pengamat dan perumus geostregi dan geopolitik global dari Amerika Serikat(AS), Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) jelas dinilai berkedudukan amat strategis di dalam postur geopolitik AS jauh ke depan.

Tidak perlu dibahas lebih lanjut apa maksudnya pandangan yang disampaikan oleh Prof Dorodjatun, karena para pemerhati masalah internasional sudah sering membahasnya dalam berbagai forum dan media tentang kedudukan Indonesia dilihat dari geopolitik dan geostrategi global, terutama di mata negara-negara besar, seperti AS, Tiongkok, Jepang, dan Korsel. Dengan begitu, sikap yang patut dicatat oleh seluruh komponen bangsa adalah “waspodo” (waspada) bahwa meskipun bangsa ini sudah merdeka 69 tahun, tetapi masih ada yang tetap ingin “menjajah” Indonesia secara politik, ekonomi, dan budaya.

Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa atau bahkan ada yang mengatakan sebagai real estat besar di dunia memberikan daya tarik bagi yang berminat untuk “menguasai”-nya. Negeri ini dipuji-puji dan diproyeksikan menjadi salah satu negara berkembang yang akan menjelma sebagai kelompok negara-negara dengan pasar yang sedang tumbuh, dan akan turut mendominasi perekonomian dunia pada 2050. Namun, pada sisi yang lain, pada lingkungan geopolitik nasional kondisinya amat memprihatikan. Negara sepertinya “dipermainkan” hanya untuk mencukupi kebutuhan keinginan politik kalangan elitenya, yaitu kekuasaan dan harta. Lupa akan adanya ancaman dan gangguan yang bersifat laten, serta lupa terhadap peluang dan tantangan.

Sebagai rakyat biasa, tentu berharap siapa pun dari elite politik mendapat kepercayaan untuk menjadi pejabat publik harus mendedikasikan seluruh jiwa raganya hanya untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan lain yang bisa merugikan kepentingan rakyat banyak. Situasi yang panas dan kering etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara harus segera diakhiri. ***

Exit mobile version