Energy Refund, Apa Pula Ini

Loading

122068643pooooooooooooo

Oleh: Fauzi Aziz

MINGGU ini dalam beberapa media cetak nasional, Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka, Kementerian Perindustrian menggagas pemikiran kebijakan bahwa sektor industri TPT (tekstil dan produk tekstil) perlu diberikan energy refund untuk membantu penurunan kinerja sektor tersebut. Selintas, masuk akal sebagai sebuah gagasan.

Tetapi yang sifatnya masuk akal belum menjadi solusi atas masalah yang kini dihadapi industri TPT. Konsep energy refund berarti dapat difahami sebagai pendekatan berfikir pragmatis yang kira-kira jika satu perusahaan TPT mengkonsumsi energy, katakanlah listrik, maka atas beban biaya yang dikeluarkan dapat di-refund baik sebagian atau seluruhnya. Logika ini menjadi terbalik, seharusnya yang lebih pas adalah bila gagasan kebijakan tersebut justru diberlakukan bagi industri yang berhasil melakukan energy saving.

Penulis melihat pendekatan pragmatis dengan mengintrodusir konsep energy refund tidak ada bedanya dengan memberikan bantuan sosial kepada pemodal. Jika ini diterapkan apakah langkah ini akan membantu meningkatkan daya saing TPT.

Rasanya tidak. Namun efeknya lebih tepat jika disebut hanya mengurangi beban cash flow perusahaan. Pertanyaan lebih lanjut apakah benar pelaku industri TPT mengalami kesulitan cash flow? Jawabnya bisa ya bisa tidak.

Kalaupun ada barangkali sebagian dan ini banyak dihadapi IKM TPT. Energy refund sumbernya pasti akan diambil dari APBN. Jikapun dilaksanakan, hal ini akan memunculkan persoalan baru karena ada ketidakadilan. Ketidakadilan ini bisa terjadi di sektor industri di luar TPT yang tidak bisa menikmati skema tersebut.

Kita tahu semua industri mengalami beban biaya energy yang tinggi, bukan hanya sektor TPT saja. Sektor baja, semen, keramik juga banyak menyerap energi yang besar. Hilirisasi dalam hal pembangunan smelter juga lahap energi. Ketidakadilan berikut adalah penggunaan listrik rumah yang menggunakan listrik 900 watt sekarang dikenakan tarif keekonomian.

Masak sektor bisnis biaya penggunaan energinya harus di-refund. Sektor usaha tidak tepat menggunakan bantuan sosial dari pemerintah. Persoalan lain yang bisa secara potensial muncul adalah akan terjadi moral hazard atau ramai dengan perburuan rente. Pastinya skema energy refund tidak akan bisa dinikmati seluruh pelaku di industri TPT, kecuali hanya di sekitar ring satunya anggota Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) saja.

Pelaku industri TPT di Majalaya, Tegal, Pekalongan, Jepara, Klaten, Jogja, Bali dan sebagainya akan gigit jari karena tidak akan terjaring oleh progam energy refund ini. Berkaitan dengan itu, patutlah agar rencana untuk memberikan energy refund ini di-hold saja karena mudlaratnya akan lebih besar dari manfaatnya.

Lebih tepat jika yang diberikan insentif justru yang melaksanakan energy saving. Ini pasti akan terkait dengan penggunaan teknologi industri. Jadi lebih baik Kemenperin segera perlu menyiapkan seperangkat kebijakan yang berkaitan dengan pemilihan, penggunaan dan pemanfaatan teknologi industri sesuai amanat UU nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian dan PP nomor 41 tahun 2015 tentang Sarana Industri.

Secara fondamental kebijakan ini yang lebih tepat untuk memperbaiki daya saing industri. Misal bagi industri yang bisa hemat menggunakan energi apapun sektornya, dapat diberikan pembebasan/keringanan pajak sesuai dengan azas tax deduc table, yang persentasenya bisa 100% atau 150% dari biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam pengadaan teknologi yang dapat dikurangkan atas pendapatan bruto sebelum pajak.

Bantuan langsung tunai kepada perusahaan harus ditinggalkan apapun bungkus skemanya karena pasti menimbulkan ketidakadilan, juga berpotensi menimbulkan moral hazard. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS