Gambling di Pasar Uang

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

GAMBLING adalah kegiatan yang bersifat spekulatif untuk mengadu peruntungan. Kalau lagi mujur bisa dapat uang banyak dari hasil perjudian, tetapi kalau lagi apes, semuanya bisa bablas, ludes tak berbekas. Jika manusia bernasib seperti itu, tak kebayang apa jadinya.

Pasti galau nggak karuan, stres, malu dan tak sedikit yang mencoba bunuh diri atau menjual diri. Situasi semacam ini bukan tidak mungkin dapat menimpa siapa saja, apalagi kalau iman tidak kuat. Pasar finansial pasti bukan tempat berjudi, tapi karena sering dipakai untuk spikulasi, maka sebagian kalangan berpendapat bahwa mencari keuntungan di pasar finasial sedikit banyak ada unsur semacam gambling dalam prakteknya.

Yang pasti, banyak orang yang tertarik ingin ikut-ikutan memutar uangnya sambil mencari peruntungan di pasar uang. Siapa sih yang mau rugi kalau punya uang semilyar rupiah misalnya, dalam benaknya pasti terfikir bagaimana caranya supaya nilainya tidak susut. Tindakan yang akan dilakukan oleh pemilik uang yang bersangkutan pasti akan mencoba memecah-mecah tabungannya dalam berbagai jenis mata uang, terutama nilai kursnya bisa menghasilkan keuntungan.

Ini cara yang dilakukan dalam bentuknya yang paling konvensional dan di negeri ini banyak masyarakat yang melakukannya dengan cara ini agar nilai uang yang berjumlah semilyar tadi tidak susut tapi malah bertambah banyak, misalnya dalam jangka setahun bisa menjadi 2-3xlipat dari nilai semula.

Golongan masyarakat yang seperti ini berfikirnya sederhana saja, yakni kalau uang sebesar itu, misalnya dipakai modal usaha buka toko kelontong atau memproduksi barang belum tentu bisa menghasilkan kapitalisasi sebesar kalau uangnya diputar dengan cara seperti tadi.

Belum lagi resiko yang harus ditanggung baik karena dagangannya tidak laku, bayar orang yang dipekerjakan, sewa tempat dan bentuk resiko lain yang bisa terjadi setiap saat. Penggambaran situasi seperti itu bisa saja dianggap mengada ada, tetapi pada kenyataannya hal yang digambarkan tadi bisa saja terjadi dan memang sudah terjadi dalam kehidupan masyarakat kita.

Patut diberikan catatan kritis bahwa bisnis uang di pasar uang dan di pasar modal boleh jadi dapat menimbulkan efek yang bersifat kontra produktif bagian sebagian golongan masyarakat. Mengkapitalisasi aset berupa uang untuk meningkatkan kesejahteraan hidup bagi diri seseorang dan keluarganya adalah hak azasinya yang bersangkutan.

Dan apakah dalam proses mengkapitalisasi asetnya tersebut di pasar uang mengandung unsur gambling karena ada faktor spikulatif didalamnya masyarakat sebaiknya juga harus menyadarinya. Yang terpenting jangan sampai terjadi suatu penyikapan yang salah bahwa seakan-akan hidupnya menjadi dibudakin oleh uang.

Tiada hari tanpa uang, seolah olah seperti itu. Uang adalah segala-galanya dan karena itu dalam hidup ini harus bisa mencari dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan bisa menggandakannya dalam jumlah yang besar agar menjadi kaya raya.

Lebih baik bisnis uang dari pada bisnis barang, repot urusannya, tinggi overhead cost-nya karena harus bayar ini bayar itu. Karena bisnis uang lebih menjanjikan dan mendatangkan keuntungan yang cepat, maka sikap manusia bisa mudah tergoda dan nafsunya muncul sehingga kemudian berusaha mencari uang dengan cara at all cost, termasuk melakukannya dengan cara korupsi dsb.

Situasi ini bolehlah dianggap hanya sebuah pikiran yang imajinatif, namun kalau hal yang semacam itu terjadi dan masyarakatnya belum siap untuk hidup dalam kegiatan ekonomi uang, apa jadinya bangsa ini.

Kehawatiran berikutnya kalau kemudian sebagian masyarakat menjadi malas bekerja di sektor-sektor ekonomi produktif dan lebih happy bekerja di sektor finansial? Tentu ini tidak salah kalau hal tersebut dianggap sebagai sebuah pilihan. Soal pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari bagi pemilik uang tidak menjadi soal, dengan uang apa saja bisa dibeli, dengan harga berapa saja, dimana saja dan kapan saja, yang penting saat dibutuhkan barangnya ada tak perduli dari mana barang tersebut diadakan atau disuplai.

Sektor produksi nasional tidak tumbuh dan berkembang bukan urusan pemilik uang, tapi itu urusannya pemerintah atau investor dan calon investor yang masih berminat berusaha di sektor produksi barang. Dalam situasi yang lain, sistem ekonomi finansial dengan pasar uang menjadi sumber motoriknya bisa membuat sikap seseorang menjadi arogan dan hanya berfikir untuk dirinya sendiri tanpa pernah berfikir terhadap nasibnya orang lain.

Sekali lagi inilah sebuah pandangan yang boleh dibilang sangat imajinatif dan mungkin dianggap diada adakan sebagai prespektif berfikir yang dibuat rumit sendiri. Oke label ini dapat diterima, tapi kenyataan telah bisa menjawab sendiri bahwa pertumbuhan ekonomi yang dihela oleh pertumbuhan sektor finansial yang penggerak utamanya adalah pasar uang telah mengahsilkan berbagai bentuk kesenjangan.

Kesenjangan antar sektor, antar kelompok pendapatan yang pada ujungnya bisa berpotensi timbulnya maslah sosial. Faisal Basri dalam bukunya berjudul Lanskap Ekonomi Indonesia memberikan satu catatan informasi bahwa secara global, perubahan fungsi uang yang semula hanya sebagai alat pembayaran dan berubah menjadi sebagai mata dagangan telah terjadi sekitar tahun 1973.

tidak lama setelah AS melepaskan jaminan emas terhadap Dolar yang diedarkannya. Sejak saat itu, sektor finansial tumbuh luar biasa dan sekian kali lipat lebih besar daripada pertumbuhan sektor riil. Tahun 1985 nilai perdagangan aset-aset keuangan mencapai US$ 150 milyar per hari, di akhir tahun 1990 nilainya sudah melebihi US$ 1triliun per hari dan pada tahun 2007, angkanya telah mendekati US$ 3triliun.

Inilah fenomena ekonomi gelembung (bubble economy) yang membahayakan, karena ekonomi balon semu ini mudah pecah dan seketika dapat melumpuhkan perekonomian, bahkan membangkrutkan negara dan merugikan banyak orang. Inilah bahayanya kalau sistem perekonomian menyandarkan diri pertumbuhannya dari ekonomi uang, yang didalamnya senantiasa mengandung unsur spikulasi dan bahkan gambling.

Apakah di negeri ini ekonominya akan bersandar pada ekonomi uang. Seharusnya tidak. Yang tepat bagi Indonesia adalah menggerakkan ekonomi yang pertumbuhannya dihela oleh sektor riil agar dapat menyehatkan dan menggairahkan perekonomian masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Pendapatan dan standar hidup yang lebih baik sangatlah penting, tetapi masalah penghapusan kemiskinan sejatinya jauh lebih penting melampaui masalah uang (Stiglitz, Making Globalization Work). ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS