Generasi Penerus Terancam Narkoba

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi

Ilustrasi

NEGERI kita yang kita cintai ini, kembali dihebohkan oleh tindakan hukum yang membatalkan pelaksanaan hukuman mati kepada gembong narkoba yang tergolong dalam kategori sindikat internasional. Namanya Deni Setia Maharwa alias Rapi Mohammed Majid.

Deni yang sebelumnya divonis hukuman mati, diubah hukumannya oleh Mahkamah Agung (MA) menjadi hukuman penjara seumur hidup.

Sebenarnya, tingkatan hukuman antara mati dengan seumur hidup, sangat tipis. Kalau hukum mati ya langsung dieksekusi mati, tapi kalau penjara seumur hidup, ya begitulah, mati pelan-pelan di dalam penjara.

Namun persoalannya tidak setipis perbedaan hukum mati dengan seumur hidup. Perubahan hukuman dari berat ke yang lebih ringan dalam kasus narkoba telah memicu sejumlah reaksi. Bukannya apa-apa. Bukan karena sirik, dengki, kesal dan sebagainya, tapi karena para petinggi negeri ini bersama seluruh eleman bangsa, sudah menyatakan kesepakatannya untuk secara serentak memerangi narkoba, bahkan para pelaku kejahatan narkoba sudah dinyatakan sebagai musuh manusia dan juga musuh agama.

Karena itu menjadi aneh, jika masih ada hakim yang berani memperingan hukuman bagi para penjahat narkotika. Menjadi tidak bisa dibenarkan oleh masyarakat awam yang bodoh di bidang hukum, apa yang menjadi dasar pertimbangan sehingga hukuman bagi penjahat narkotika harus diperingan.

Apakah karena belas kasihan, atau ada pertimbangan lain yang sulit untuk diungkapkan? Bisa kita bayangkan tidak seorang penjahat narkotika, dari dalam penjara saja, mereka masih bisa menggerakkan mesin bisnis jahatnya. Apalagi jika diberi ruang gerak yang leluasa.

Maka itu tidak heran jika Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berniat untuk mendatangi Komisi Yudisial (KY) terkait hukuman mati yang dibatalkan oleh MA kepada para gembong narkoba. KPAI akan meminta KY menginvestigasi keputusan pembatalan eksekusi mati tersebut.

KPAI sadar bahwa ancaman pertama jika para penjahat narkoba itu masih berkeliaran, adalah bagi anak-anak dan memang sasaran para sindikat itu adalah anak-anak yang artinya, generasi penerus negeri ini akan dibunuh oleh para penjahat narkoba tersebut.

Karena itu pulalah, kita heran, kenapa kok para pembunuh anak-anak bangsa itu masih diberi kelonggaran dan kebebasan untuk bernafas. Harusnya dibunuh saja, sebelum anak-anak kita dibunuh.

Dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi disebutkan bahwa KPAI sebagai lembaga negara yang memperoleh mandat konstitusional untuk meningkatkan efektivitas perlindungan anak bersama elemen masyarakat akan koordinasi dengan Komisi Yudisial RI dalam rangka merumuskan langkah-langkah untuk mendorong investigasi terhadap perilaku hakim MA yang membatalkan hukuman mati bagi produsen narkoba.

Ternyata, KPAI tidak sendiri. Namun mereka akan datang bersama elemen masyarakat yang tergabung dalam Kaukus Masyarakat Peduli Anak. Kaukus Masyarakat Peduli Anak adalah gabungan elemen masyarakat yang terdiri dari Perhimpunan Advokat Anak Indonesia, LPBH PBNU, Komisi Hukum MUI, Granat, Ikatan Pelajar NU, Lembaga Studi Agama dan Sosial, Advokat Ikhsan Abdullah n Partners, dan beberapa elemen masyarakat lainnya.

Dampak buruk narkoba sangat nyata bagi anak-anak. Jika putusan tersebut jadi kebiasaan, bisa jadi ini langkah awal matinya generasi penerus bangsa Indonesia. Bahkan Indonesia bisa jadi surga bagi peredaran narkoba.

Seperti diketahui, MA membatalkan vonis mati kepada beberapa gembong narkoba. Pembatalan vonis yang terbaru diberikan kepada Deni Setia Maharwa alias Rapi Mohammed Majid. Padahal, Deni sebelumnya divonis mati oleh MA juga dalam putusan kasasi karena dalam koper Deni ditemukan 3 kg kokain dan 3,5 kg heroin. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS