HGTT – Habis Gelap Terbitlah Terang

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

SEBAGIAN besar dari kita pasti kenal akan judul itu, Habis Gelap Terbitlah Terang dan kalau boleh disingkat akronimnya menjadi HGTT. HGTT adalah sebuah buku yang dikarang oleh RA Kartini pada zaman penjajahan dahulu yang dalam sejarah dicatat sebagai tahun kebangkitan emansipasi kaum perempuan.

Opini ini tidak akan membahas apalagi mengupas isi buku tersebut. Tapi HGTT menjadikan sumber inspirasi dari aspek kebahasaan dan kehidupan bahwa segala sesuatunya dalam kehidupan itu harus bisa berproses dari suasana yang penuh kegelapan dan misteri menuju ke suasana dan lingkungan yang lebih terang benderang, menjadi lebih baik, lebih cerdas dan lebih bijaksana.

Peristiwa hukum dan ketatanegaraan yang terjadi di negeri ini, terakhir yang berkaitan dengan lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang kedudukan jabatan wamen dapat menjadi catatan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Catatan pertama, negara kita adalah negara hukum dan karena itu, tanpa kecuali diantara kita harus mengerti tentang hukum dan perundang-undangan, taat kepada aturan hukum dan penegakannya.

Prosesnya tidak lantas semua harus menjadi mahasiswa fakultas hukum, tetapi secara moril kita wajib mendalaminya apa yang tersurat dan tersirat tentang konsep negara hukum dalam kehidupan sehari hari. Proses ini harus berjalan sehingga kita menjadi terbebas dari lorong kegelapan di bidang hukum, menjadi lebih mengerti dan memahami tentang bagaimana hidup di negara hukum dan berpenghidupan di negara yang berlandaskan hukum sebagai panglima.

Bagi orang kebanyakan barangkali hukumnya fardhu kifayah atau sunah, tapi bagi para penyelenggara negara, pejabat negara, PNS apalagi para aparat penegak hukum, hukumnya menjadi fardhu a’in untuk menguasai hukum dan perundang-undangan.

Kedua, setelah terbebas dari lorong kegelapan tentang hukum, maka khususnya bagi para penyelenggara, pajabat negara harus menjadi dapat menempatkan posisinya sebagai regulator yang kompeten dan profesional dalam membuat peraturan perundangan apakah itu UU, peraturan pemerintah dan turunannya.

Tunduk kepada azas-azas yang selalu menjadi acuan dalam setiap penyusunan peraturan perundangan. Tidak bisa seenaknya dan apalagi dari awal sudah digiring untuk mengamankan kepentingan tertentu. Dalam perundingan-perundingan internasional menjadi lebih mendesak lagi.

Para juru runding harus piawai menguasai segala macam bentuk perjanjian yang dibahas dan diperdebatkan dalam pertemuan-pertemuan internasional seperti. WTO, ILO dll. Undang-undang nomor 39 tahun 2008 tentang Kementrian Negara satu contoh betapa para pembuatnya tidak corect mencermati aspek hukum dan perundangan, kecuali memang dari awal telah dengan sengaja dipelesetkan demi alasan kepentingan tertentu.

Ketiga, mekanisme kerja di sistem birokrasi yang berbudaya kerja ABS sangat berbahaya bagi proses pembuatan regulasi disetiap lembaga negara. Para pelaku ABS aliran berfikirnya sangat menyesatkan.

Selain pendekatannya ABS, semangatnya adalah pragmatisme dan rasionalitas yang menyesatkan. Buat saja dulu nanti toh diubah-ubah lagi. Yang tidak bisa diubah ubah hanya Alkitab (alqur’an, injil) Azas-azas kepatutan dalam pembuatan regulasi acapkali tidak diperhatikan.

Semua mengandalkan kepada Biro Hukumnya dan unit ini acapkali juga terbelenggu oleh sistem birokrasi yang suka membuat para petugasnya menjadi tidak bebas menyampaikan pandangan hukumnya yang benar dan obyektif.

Biro hukum bisa menjadi korban dari ketidak tahuan atasannya atas konsep regulasi yang hendak dibuat. Belum lagi perintahnya harus cepat, jangan lama-lama, harus jadi dalam semalam dan sebagainya. Yang seperti ini tidak boleh terjadi. Kalau yang demikian masih sering terjadi, maka ibarat orang buta ketemu orang tuli.

Atau lagi-lagi mereka masih hidup di lorong kegelapan pengetahuan hukum dan perundang undangan. Sebagai saran, maka kepada pejabat publik harus diberikan diklat tentang hukum dan perundang-undangan baik bagi para pegawainya maupun pejabatnya dari eselon 4 hingga eselon 1 dijabatan struktural maupun fungsional.

Keempat, hukum dan perundang undangan yang berlaku di negeri ini sudah banyak dibuat sejak orde reformasi. Tapi yang terjadi adalah banyak yang bersifat tumpang tindih, multi tafsir dan bahkan ada kecenderungan mengarah kepada penguatan aspek power and authority bagi lembaga yang memilki kewenangan dan kepentingan.

Akibatnya adalah hukum dan perundangan yang lahir tadi tidak menimbulkan kepastian hukum bagi para penggunanya. Istilah pasal karet bertaburan di dalamnya. Akibatnya banyak persoalan hukum terjadi dimana-mana dan celakanya tidak selesai di meja peradilan tapi selesai dibawah tangan atas nama suap dan sogok.

Mahkamah Konstitusi menjadi sangat super sibuk melaksanakan tugas pengadilan konstitusi krn banyak produk hukum nasional yang dinilai bertentangan dengan semangat konstitusi. Contoh UU tentang penaman modal, UU migas, UU BHMN dan lain-lain. Belum lagi berbagai aturan pelaksanaannya.

Kelima, hukum dan perundang-undangan dan regulasi lain yang dibuat harus memberikan jaminan kepastian hukum agar kehidupan kita semua yang beraktifitas di bidang apapun mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Mudah dan murah untuk diakses oleh siapapun. Kita semua harus sadar dan siuman untuk tidak terus-terusan mabok hidup di negara yang berlandaskan hukum.

Kita harus segera keluar dari lorong kegelapan dan beralih kelorong yang lebih terang benderang hidup di negara hukum sebagai panglima. Terang benderang yang tidak membuat silau tapi menyejukkan, menentramkan, mengayomi dan berkeadilan agar kita tidak lari kembali ke lorong-lorong gelap yang gulita dan misterius. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS