Site icon TubasMedia.com

Hakim Masih Mungkin Dikendalikan Mafioso Narkoba

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

Ilustrasi

BERHADAPAN dengan kejahatan yang satu ini, para hakim pun masih mungkin dikendalikan para mafioso narkoba. Secara karakteristik dalam komunitas sosial para sang aktor intelektual (otak pelaku), sesungguhnya sadar bahwa bisnis haram jadahnya itu telah melakukan pembunuhan massal baik secara fisik mau pun moral termasuk merusak mentalitas generasi muda bangsa. Namun, adakalanya hakim lebih mengedepankan kepentingan pribadi yaitu nilai subjektivitas materi yang tentu saja sangat besar jumlahnya, terutama bila si pesakitan dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU).

Tuntutan mati inilah yang kemungkinan dikondisikan jadi lahan keberuntungan bagi hakim. “Iya dong..persoalan nyawa…apa pun akan dipertaruhkan terdakwa, asal nyawanya diselamatkan hakim untuk tidak mengabulkan tuntutan hukuman mati yang diajukan jaksa. Pertanyaannya, apakah hakim juga mau melihat akibat peredaran narkoba itu akan merusak generasi muda bangsa secara massal..?

Ini yang jadi masalah dan sangat berbahaya kalau hakim masih kurang kuat iman sehingga tak perduli menikmati uang haram,” ujar Johnson Panjaitan (JP) menanggapi tubasmedia.com terkait kasus narkoba atas nama terdakwa Eko Wijaya yang telah dituntut hukuman mati oleh JPU Ny. Endang dari Kejati DKI Jakarta didampingi Manto SH dari Kejari Jakut. Tuntutan hukuman mati itu diajukan JPU di hadapan ketua majelis hakim Sulistyo SH di ruang sidang PN Jakut atas dasar barang bukti sebanyak 6 kilogram narkoba jenis sabu-sabu dengan nilai transaksi harga keseluruhan sebesar Rp 4 miliar lebih. Barang haram ini diproduksi di kawasan permukiman mewah Kelapa Gading Jakut untuk dipasarkan tanpa batas bagi jutaan generasi muda.

Aktivis supremasi hukum, JP mengisyaratkan agar hakim yang menyidangkan kasus ini jangan main-main lagi melihat barang bukti yang begitu banyak. “Bayangkan kalau barang bukti itu sampai beredar berapa banyak yang menjadi korban. Saya tidak mendoakan tapi tidak tertutup kemungkinan anak atau keluarga hakim pun bisa jadi sasaran narkoba,” kata JP memperingatkan.

Menurut Jonhson, saat ini ada tiga jenis kejahatan pembunuhan secara massal. Dari ketiga jenis kejahatan itu pembunuhan massal yang dilakukan teroris pada ruang batas tertentu sebagai obyek sasaran yang dituju dan korbannya seketika tewas. Pelakunya tewas ditangan polisi anti teroris Densus 88 sedang aktor intelektualnya dieksekusi hukuman mati. Kejahatan korupsi lebih dahsyat lagi kendati tidak seketika mencabut nyawa korban. Namun 40 persen rakyat Indonesia terpuruk dalam kemiskinan karena hak kesejahteraannya dirampas para koruptor. Akibatnya kematian akan menghadang lebih awal disebabkan sandang-pangan tidak memenuhi standart untuk mencapai pola hidup empat sehat lima sempurna. ”Jutaan rakyat secara massal akan mati perlahan-lahan,” tandas JP bernada prihatin.

Bagaimana dengan kejahatan narkoba? Menurut JP, kejahatan narkoba jauh lebih berbahaya dibanding kejahatan teroris dan korupsi. Dampak yang ditimbulkan selain merusak sel-sel syaraf otak tanpa kenal batas usia, jenis dan status sosial, narkoba sekaligus merusak strata perekonomian setiap korban dan menjadi bodoh tanpa harapan, tak ubahnya mati suri.

Nah, sekarang terserah hakim. Menurut JP, di antara ketiga kejahatan tersebut, hanya kejahatan korupsi yang belum pernah dikenakan hukuman mati. Sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak mengabulkan tuntutan hukuman mati yang diajukan JPU Ny. Endang bagi bandar narkoba Eko Wijaya.***

Exit mobile version