Harga Elpiji dan Pencitraan

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Sabar Hutasoit

Sabar Hutasoit

HARGA elpiji tiba-tiba dinaikkan dan secara tiba-tiba pula diturunkan kembali. Tentu penurunan harga itu tidak dengan mudah atau gampang. Tapi terlebih dulu para pejabat dan petinggi negeri ini menyatakan bingung dan saling bertanya.

Setelah harga naik, tidak seketika itu diturunkan, akan tetapi ada jeddah sebentar dan jeddah yang sangat singkat itulah digunakan para petinggi dan pimpinan partai politik memberi komentar yang isinya menolak kenaikan harga elpiji.

Bahkan ada suara yang menyatakan kalau Presiden SBY tidak tahu menahu tentang kenaikan harga elpiji. Artinya, pihak Pertamina katanya, sekali lagi katanya, tidak melakukan sounding dulu kepada presiden sebelum harga elpiji dinaikkan.

Demikian juga Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) , Jero Wacik, menyatakan dirinya heran tidak tau kalau Pertamina sudah menaikkan harga elpiji sehingga tidak dapat dicegah lagi banyak suara yang menyatakan pecat saja Dirut Pertamina karena telah menyengsarakan rakyat. Jangan-jangan ibu Karen Agustiawan selaku Dirut Pertamina tertawa mendengar usulan memecat dirinya sebab dia tahu persis barangkali, kalau hal ini merupakan opera atau sandiwara belaka hanya untuk menaikkan citra.

Dan akhirnya, setelah semua pihak (para petinggi negeri ini dan pimpinan parpol) memberi reaksi agar harga elpiji diturunkan, maka hanya berselang beberapa hari dari harga naik, harga elpiji-pun diturunkan yang seolah-olah harga elpiji turun, adalah akibat dari penolakan mereka-mereka yang punya kepentingan tadi.

Pertanyaan kita apakah betul seorang Dirut Pertamina berani menaikkan harga elpiji tanpa seijin atau tanpa sepengetahuan pimpinan tertinggi negeri ni. Kenapa ? Karena elpiji adalah hajat hidup seluruh warga negara dan elpiji adalah komoditi strategis yang tidak bisa segampang itu pengelolaannya.

Kalaulah benar, para pihak yang berkompeten tidak tahu menahu termasuk Presiden SBY, harga elpiji dinaikkan Pertamina, kita sudah bisa menarik kesimpulan kalau kondisi ini menjadi satu bukti kurangnya koordinasi BUMN dengan Pemerintah. Tapi apakah sedemikian parahnya hubungan antara pemerintah dengan BUMN yang menangani komoditi strategis?

Jikalau dugaan itu benar, yang galau dan menjadi korban adalah rakyat sementara yang menanggok keuntungan adalah petinggi negeri ini bersama para pimpinan parpol yang sedang mencari strategis membujuk rakyat menjelang pesta demokrasi 2014.

Dalam kesempitan itu mereka para petinggi dan para akrobat politik mengambil kesempatan untuk naikkan citra dengan cara pura-pura marah dan kecewa ditambah bingung kenapa harga elpiji naik. Kekecewaan mereka itu sebenarnya mau mengatakan kalau mereka memihak rakyat.

Hasilnya memang, harga elpiji diturunkan kembali dan tingkat kenaikan harga tidak setinggi terdahulu. Nah disinilah mungkin alasannya kenapa Anas Urbaningrum menilai Presiden SBY sedang memainkan opera sabun dengan harapan citra para pihak yang ingin memimpin negeri ini terangkat kembali.

Satu lagi yang perlu ditarik pelajaran dari naik turunnya harga elpiji adalah pernyataan Pertamina yang mengakui terpaksa menaikkan harga karena BUMN itu rugi terus. Padahal kita ketahui Pertamina dan staf nya penuh fasilitas mewah dan tentu punya keuntungan besar untuk memenuhi gaji dan bonus tahunan sementara masih banyak rakyat miskin.

Pertamina juga sibuk bangun `Proyek Mercu Suar` gedung super tinggi di tengah masyarakat miskin yang tidak punya tempat tinggal layak karena ekonomi semakin sulit. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS