Hati-Hati

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

HATI-hati, begitu kata-kata bijak yang selalu dinasehatkan oleh orang tua ketika kita hendak melangkah ke depan menyongsong kehidupan yang lebih baik. Prudent, bahasa Inggris kata hati-hati tersebut.

Menyongsong masa depan dan menjalankan tugas menyusun masa depan musti jangan pernah melupakan catatan sejarah masa lalu untuk mengambil pelajaran berharga yang dapat kita petik dengan maksud agar peristiwa serupa dapat berulang kembali. Tapi tidak bijaksana juga kalau kita terus-terusan mengunyah-ngunyah masa silam nyaris tanpa henti.

Kata hati-hati yang menjadi judul tulisan ini bisa menjadi tuntunan yang bermakna bagi hampir semua aspek kehidupan. Tapi dalam konteks ini kata hati-hati akan lebih diorientasikan kepada sebuah sikap yang patut kita ambil, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi di Indonesia. Saat ini, sebagaimana sudah banyak dikupas oleh berbagai kalangan, termasuk oleh para media, Indonesia akan menjadi salah satu negara di Asia yang ekonominya memiliki daya tahan akibat krisis finansial yang melanda zona Eropa dan AS.

Pertumbuhan ekonominya di tahun 2012 diproyeksikan akan tumbuh di atas 6%, Bank Indonesia memproyeksikan antara 6,4% – 6,7%. Lembaga pemeringkat internasional telah memberikan predikat invesment grade kepada Indonesia, yang berarti negeri ini dinilai visible untuk investasi baik di sektor finansial maupun juga di sektor riil.

Predikat tersebut tentu harus bisa dibaca dari dua sisi, pertama untuk dapat menggapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan investasi dan investasi selalu membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membangun pabrik baru, infrastruktur dan kebutuhan investasi lainnya.Kedua, dengan suatu negara menyandang predikat invesment grade maka akan terjadi antusiasme kalangan kreditor asing untuk menawarkan dana murah kepada pengusaha indonesia yang memerlukan dana untuk mengembangkan usahanya di dalam negeri.

Kehati-hatian itu menjadi penting dan kita tidak perlu membabi buta, all out maupun at all cost menyikapinya. Resiko akan selalu ada, bahkan akan ada saja komplikasi dan ekses yang tak terduga, karena itu, sikap berhati-hati harus selalu menyertai, tak boleh gegabah dan sembrono merespon setiap peluang yang dimiliki bangsa ini yang saat ini menyandang predikat invesment grade.

Tahun 1993, Bank Dunia pernah menerbitkan The East Asian Miracle yang memuji-muji Indonesia sebagai salah satu anggota kelompok delapan negara HPAEs (High Performing Asian Economics).Yang terjadi kala itu para investor dunia dengan senang hati untuk memberi kredit Indonesia. Saat itu terjadi demander di mana pengusaha kita memerlukan dana yang relatif murah dibanding dana perbankan di dalam negeri dengan para fund management.

Siapa menyangka tahun 1998 terjadi krisis ekonomi yang kemudian menghantam perekonomian nasional yang nyaris lumpuh di mana kontraksi ekonomi terjadi begitu hebatnya. Meskipun ketika krisis 2008 terjadi kembali dan Indonesia relatif bisa mengatasinya berkat pengalaman krisis 1998, maka yang paling bijaksana kita harus bersikap konservatif dan hati- hati dalam menerapkan kebijakan ekonomi yang diperlukan.

Sebagus apapun sebuah kebijakan ekonomi, meskipun sudah didukung dengan teori yang baik dan data yang akurat, dalam implementasinya selalu memerlukan persiapan untuk menghadapinya kalau krisis finansial di zona Eropa dan AS berdampak kepada Indonesia. Dapat dicatat bahwa hampir tidak pernah ada sebuah kebijakan yang bisa bebas dari resiko apapun.

Pelajaran pahit yang datang saat kita terkena dampak krisis 1997-1998 memberikan suatu pelajaran penting bahwa liberalisasi dan globalisasi sektor finansial bisa beresiko sewaktu-waktu dan nampak telah membuka mata para ahli ekonomi dunia negara perlu menerapkan semacam capital control (Indonesia rasanya sudah menerapkan sistem ini melalui kebijakan Bank Indonesia) untuk mengendalikan lalu lintas modal internasional yang terlalu liberal.

Tokoh-tokoh pemikir ekonomi dunia yang setuju untuk diterapkannya Capital Control antara lain adalah Jagdish Bhagwati (Colombia University), Paul Krugman (Pricenton Univercity), Joseph E.Stiglitz (Colombia University) dan Paul Blustein, wartawan ekonomi terkemuka dari The Washington Post.

Semua catatan tadi memberikan suatu pemahaman kepada kita bahwa kita tidak perlu terlena dengan pujian dari manapun datangnya. Yang penting kita harus bekerja keras untuk menuntaskan PR bangsa ini yang masih tercecer, baik di bidang ekonomi, hukum maupun politik dengan bersikap tidak boleh gegabah, sembrono dan tetap dalam kewaspadaan yang tinggi.***

CATEGORIES

COMMENTS