Hirarki Aturan di Republik

Loading

lalulintas

Oleh: Fauzi Aziz

MARI kita mencoba ikut memahami hirarki peraturan perundangan di negeri yang masih berlaku hingga kini. Pertama, yang paling tinggi kedudukannya adalah UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kedua Undang- undang yang kewenangan pembuatannya ada di tangan DPR sebagai pelaksanaan dari fungsi legislasi.

Draft RUU-nya bisa datang dari pemerintah atau berasal dari DPR yang dibahas bersama pemerintah dengan DPR sampai disahkan menjadi UU. Ketiga, Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari UU, keempat, Peraturan Presiden dan kelima Keputusan Presiden, serta keenam  peraturan gubernur/ bupati/walikota.

Di luar itu ada peraturan menteri/kepala lembaga dan keputusan dirjen. Di luar UUD 1945 berarti minimal dalam satu hirarki terdapat 5 peraturan perundangan, tidak termasuk peraturan menteri dan dirjen. Kalau satu kementrian masing-masing mempunyai payung hukum sendiri, maka dengan jumlah minimal peraturan perundangan yang minimal harus dibuat adalah 5 x 34 kementrian yakni 170 peraturan perundangan.

Inilah konsekwensi menjadi negara berdasarkan hukum dan masing-masing sektor yang diwakili oleh satu kementrian, di republik ini minimal mempunyai 5 peraturan perundangan hingga ke daerah. Pada kenyataannya jumlah tersebut lebih besar dari itu, sehingga secara total bisa menjadi puluhan ribu jenis peraturan perundangan.

Oleh sebab itu wajar jika banyak pihak mengatakan Indonesia adalah negara seribu satu aturan, yang kalau Irak disebut sebagai negeri seribu satu malam. Indonesia dikenal juga sebagai negara yang sangat serba regulative dan serba prosedural yang celakanya tidak ada jaminan sinkron dan harmonis satu sama lain, sehingga banyak pihak berpendapat tidak menjamin adanya kepastian hukum.

Inilah fakta di lapangan yang seringkali dijumpai dan dikeluhkan banyak kalangan, baik pemerintah sendiri yang mengurus sektor yang berbeda maupun yang mengurusi dunia bisnis dan masyarakat. Banyak pihak mengatakan menjalankan aktivitas di Indonesia terlalu banyak aturan, ruwet seperti benang kusut dan ada kalanya memacetkan karena saling mengunci.

Tidak heran jika gugatan ke MK bertumpuk untuk diyudicial review. Pemerintah karena merasa banyak terjebak oleh aturan yang dibuatnya sendiri, juga banyak melakukan revisi berbagai peraturan perundangan dan terakhir melakukan progam deregulasi yang dituangkan dalam paket kebijakan ekonomi yang sudah sampai paket ke XI dan sedang memasuki paket ke XII yang barangkali akan terus berlanjut.

Apakah ini sebuah solusi. Dilihat dari kondisi yang dihadapi karena banyak pihak merasakan “tersiksa” dengan banyaknya aturan, langkah yang dilakukan pemerintah dianggap tepat untuk mengurai benang kusut yang terjadi. Ada pihak lain yang mengatakan bahwa yang tepat dilakukan adalah melaksanakan re-regulasi, bukan deregulasi.

Menurut hemat penulis keduanya benar, baik re-regulasi maupun deregulasi karena Indonesia ingin menjadi pelayan yang baik bagi masyarakat di dalam negeri maupun masyarakat internasional yang akan melaksanakan berbagai kegiatan ekonomi dan kegiatan lain di negeri ini.

Standar Operating Procedure (SOP) penting diadakan seperti halnya manual book yang ada pada cara penggunaan kendaraan, alat elektronika dan telekomunikasi serta dalam cara mengoperasikan pesawat terbang. Yang urutanya jelas, tidak tumpang tindih dan mudah dibaca dan difahami oleh berbagai pihak dengan pemahaman yang sama.

Yang penting lagi satu obyek aturan jangan terlalu banyak aturannya karena alasan diberi kewenangan untuk mengatur dari satu obyek aturan. Misal aturan tentang perindustrian dibuat satu paket aturan yang pengendalinya dilakukan hanya oleh presiden atau Menteri Perindustrian yang diberikan mandat oleh presiden.

Tidak perlu menteri lain yang membuat aturan karena juga diberi kewenangan mengatur. Model seperti ini yang salah atau tidak tepat. Karena itu, obatnya adalah re-regulasi. Namun jika di dalam pelaksanaannya menimbulkan “botlenacking’’, maka remedynya adalah deregulasi. Jadi yang perlu dibenahi di republik ini adalah pembenahan aturan, tanpa harus mengubah hirarkinya.

Alatnya ada dua macam, yakni “Re-regulasi” dan “Deregulasi”. Sasarannya menjamin adanya kepastian hukum dan pelayanan prima karena kita butuh tatanan yang lebih baik, efisien, efektif, transparan dan akuntabel serta tidak mempersulit urusan. (penulis adalah pemerhati masalah ekonomi, industri dan kebijakan publik).

 

CATEGORIES
TAGS