Hukum Ternyata Bisa Dibeli

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Sabar Hutasoit

Sabar Hutasoit

YA benar, hukum di Indonesia ternyata dapat dibeli alias dibayar sebagai pengganti hukum badan misalnya. Mau bukti? Jika sepeda motor dan kendaraan roda empat masuk ke jalur busway dan disebut pelanggaran hukum, bisa diselesaikan dengan bayar denda. Besarnya denda tersebut, bervariasi, untuk pengendara sepeda motor (roda dua) Rp 500.000 dan untuk pengendara kendaraan roda empat Rp 1 juta. Kalau kendaraan roda tiga? belum diatur.

Itulah fakta di Indonesia. Dibuat sebuah aturan main yang bermuatan hukum tapi, penyelesaiannya cukup dengan bayar denda. Sadar atau tidak sadar, kebijakan satu ini telah sekaligus memberi pelajaran hukum yang tidak populer bagi seluruh warga. Melanggar hukum denda Rp 500.000 dan Rp 1 juta.

Karena pelanggaran hukum itu bisa diselesaikan dengan hanya membuka dompet lalu mengeluarkan lembaran rupiah, bisa jadi nanti, seseorang pengendara yang mau buru-buru tiba di tujuan karena harus mengikuti acara yang sangat penting, segera masuk jalur busway dengan lebih dulu menyediakan segepok uang untuk membayar pelanggaran.

Karena sanksi hukumnya hanya bayar denda, yang lebih ekstrim lagi, bisa-bisa pengendara yang masuk jalur busway tadi bukan tidak mungkin mengajak petugas jalur busway mengawal dia hingga ke tujuan dengan memberi bayaran.

Pada akhirnya nanti, jalur busway tidak lagi khusus untuk dilalui bus transjakarta, tapi juga bisa dilalui kendaraan pribadi atau angkutan lainnya dengan catatan siap dan mau membayar denda. Sisi positifnya, sumber pemasukan kas Pemprov DKI Jakarta semakin bertambah tapi negatifnya, sanksi hukum diperjualbelikan.

Bayangkan jika dalam satu hari terdapat seribu kendaraan roda empat yang melakukan pelanggaran, maka kocek pemerintah daerah akan kemasukan dana 1.000 x Rp 1.000.000= Rp 1 miliar, belum lagi pelanggaran yang dilakukan pengendara roda dua.

Sebenarnya, jika mau jujur, seluruh pengendara, baik roda dua maupun roda empat dan roda tiga tidak berniat masuk ke jalur busway jika jalur umum lainnya bisa dilalui dengan aman dan nyaman. Dan harus diakui juga, bahwa jalur yang digunakan transjakarta yang kemudian disebut jalur busway, adalah milik masyarakat umum dan bukan monopoli busway. Soal kemudian oleh pemerintah jalur itu dibatasi dengan tembok pemisah, oke..oke..saja. Tapi sekali lagi yang bangun jalur itu bukan pengelola busway.

Lain halnya misalnya pengelola busway bikin sendiri jalurnya sebut saja di bawah tanah atau di atas tanah alias jalan layang. Nah, itu baru punya hak seratus persen seperti jalan tol bermodal bikin jalan sendiri. Kita bayar mahal tarif tolnya juga tidak jadi soal.

Tapi, ini lain. Yang tadinya badan jalan itu milik kita bersama, tiba-tiba dibangun tembok pemisah lalu saat kita masuk, dituduh melakukan pelanggaran dan serta merta dituduh sebagai pengemudi nakal. Padahal, andaikata jalur busway itu tidak diambil pengelola transjakarta, badan jalan itu-pun sudah tidak memadai lagi sebab sangat sempit dan pasti tetap macet. Kini kemacetan semakin parah lagi setelah badan jalan umum disita transjakarta.

Untuk itu, pemerintah sudah harus mencari jalan keluar bagaimana agar para pengguna jalan raya, apakah itu melalui jalan tol, jalur busway atau jalan alteri lainnya, dapat aman dan nyaman, terhindar dari kemacetan dan tidak kena denda. ***

CATEGORIES
TAGS