Berhutang

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

BERHUTANG. Siapa saja bisa melakukannya. Baik atas nama negara, perusahaan (BUMN/BUMD/swasta maupun perorangan). Tujuannya juga sangat beragam. Kalau negara yang berhutang, umumnya dana yang diperoleh untuk nambal APBN-nya karena kalau tidak, bisa terjadi defisit anggaran.

Kalau BUMN/BUMD/swasta, umumnya digunakan untuk menambah dana keperluan investasi maupun modal kerja. Sedangkan kalau yang berhutang, seseorang, maka tujuannya sangat beragam, bisa untuk modal usaha, membiayai pendidikan, membeli rumah atau kendaraan dan keperluan lain.

Dari dimensi waktu, hutang bisa bersifat jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Dalam berhutang, kita mengenal istilah pokok pinjaman dan bunga yang biasanya akan dibayarakan pada saat jatuh tempo. Hutang terjadi kapan saja. Kalau dalam negara, tak mengenal rezim, apakah itu Orde Lama, Orde Baru atau rezim Reformasi.

Yang heran, semuanya getol berhutang hampir tanpa kecuali. Kadang-kadang berlaku nekad juga untuk berhutang. Soal resiko gagal bayar, urusan belakangan. Dulu diskusi dan debat tentang hutang sangat intensif dilakukan oleh berbagai kalangan. Sekarang, nyaris tak terdengar, bahkan hampir tidak ada pihak yang” peduli” tentang hutang.

Bahkan kalau sampai default, bisa berabe, negara bisa bangkrut. Begitu juga perusahaan dan perorangan. Dampaknya bisa sangat sistemik bagi kehidupan ekonomi negara. Lembaga resmi seperti DPR dan DPD rasanya hampir tidak pernah membahas soal hutang ini. Membuat panja atau pansus tentang hutang nyaris tak muncul.

Akhir-akhir ini, kita dibuat kaget dan miris tentang hutang berhutang ini. Amerika Serikat hutangnya sangat besar ratusan persen dari PDB-nya. Dampaknya? negerinya collaps. Begitu juga Yunani, Italia dan Spanyol karena hutangnya tidak terkontrol, ekonomi zona Eropa nyaris ambruk.

Hutang negara dimanapun sebenarnya oleh konvensi PBB sudah diatur, yaitu maksimal hanya boleh sampai batas maksimal 60 persen dari PDB nasional masing-masing. Tapi kalau kita lihat hutang negara maju seperti AS, Jepang dan Eropa, hampir semuanya memiliki hutang besar yang melampaui ambang batas 60 persen dari PDB nasional.

Indonesia masih taat azas, kalau tidak salah, hanya sekitar 25 persen terhadap PDB kita. Masih aman katanya? Kriteria lainnya adalah APBN di masing-masing negara juga dibuat ketat, yaitu maksimal hanya 3 persen dari PDB nasional yang merupakan batas maksimal defisit anggaran yang ditolelir.

Untuk Indonesia, lagi-lagi masih dalam batas yang aman untuk soal defisif fiskal ini. Barangkali karena semua tolok ukurnya yang dipakai masih menyatakan aman, maka diskusi tentang hutang ini tak menarik untuk dibahas. Termasuk DPRdan DPD, bahkan MPR-pun tidak tertarik untuk otak atik tentang hutang ini.

Padahal topik ini menarik untuk terus dicermati dan dikritisi karena berbagai resiko yang bisa muncul jika terjadi default. Apakah yang berdampak sistemik atau tidak, semuanya patut dicermati untuk dibahas di analisis baik secara politis maupun ekonomis. Hutang adalah hutang. Kapan saja harus dibayar dan dilunasi.

Para sedulur sedoyo, hutang negeri ini sudah Rp 1.900 triliun. Besar sekali bukan. Kalau tak salah, itu baru hutang negara, belum termasuk hutang swasta. Nilai tersebut kalau dibandingkan dengan PDB Indonesia tidak sampai 30 persen. Masih aman kalau hanya dilihat dari kreteria boleh sampai maksimum 60 persen dari PDB.

Akhir-akhir ini kita berhutang pada umumnya untuk nombokin defisit Fiskal/APBN. Kalau APBN-nya terpakai untuk membangun, barangkali kita masih bisa tidur nyenyak untuk tidak mikirin hutang. Tapi kalau APBN-nya sebagian besar hanya terpakai untuk menutup belanja operesional, subsidi, buat nyicil bayar hutang (pokok dan pinjaman), mana bisa kita membangun.

Belum lagi kalau dikaitkan dengan upaya pencapaian target progam MDGs yang tidak kecil memerlukan dukungan dana dan juga dana untuk perbaikan lingkungan hidup. Sudah sangat limitatif untuk membangun, APBN/APBD-nya banyak yang dikorupsi yang di dalamnya ada unsur dana yang sumbernya dari hutang.

Oleh karena itu, manajemen pengolaan hutang ini harus transparan dan akuntabel. Meskipun aman dari ukuran kreteria tadi, bisa menjadi malapetaka kalau dana yang bersumber dari hutang tersebut dipakai untuk “bancaan”, dikorupsi oleh para elit partai dan anggota parlemen.

Bank Dunia dalam sebuah laporannya (dikutip dari E Panca Dahana, Pendanaan Pembangunan. Menuju Capaian Angka atau Perubahan) menyampaikan bahwa sejak tahun 1965-1998 sepertiga pinjaman Bank Dunia berjumlah US$ 30 miliar “dicuri” oleh elite penguasa.

Saat ini berapa US$ APBN dipakai buat bancaan para koruptor tidak ada yang tahu. Hutangnya sih masih jauh dari batas ambang aman dari PDB dan defisit fiskalnya masih di bawah 3 persen dari PDB. Tapi berapa persen nilai dana APBN/APBD dari total dan berapa persen dari total PDB patut diketahui oleh kita semua.

Negeri ini sudah “dikepung” oleh 1) hutang, 2) korupsi 3) penguasaan aset oleh asing. Lantas generasi muda, anak cucu kita akan diwarisi apa? Mari kita hitung sama-sama dengan memakai simpoa, semoga kita bisa menemukan angka yang persis nilai hutang negeri ini, berapa yang “dirampok” dan berapa yang telah dikuasai asing serta berapa sisanya.

Jangan-jangan sudah tidak ada lagi saldo kecuali ampasnya saja. Apakah kita akan terus berhutang ? Sepertinya ya juga. Buktinya, SUN, SBN, obligasi saban tahun dilelang. Utang swasta jalan terus, utang orang per orang juga demikian. Semoga negeri ini tidak seperti Yunani dan negeri ini tidak dalam posisi tergadai karena banyak berhutang dan aset yang berkualitasnya sudah bukan milik bangsa ini.

Awas “Hutang”, jangan sampai kita ternina bobokkan dengan hutang. Kalau tidak bisa dilunasi, kita semua menjadi susah, siapa yang sanggup bayar dan apakah kita masih sanggup melunasi. Apakah aset tangible dan intangible milik bangsa ini masih cukup untuk dijadikan jaminan ? Jangan-jangan tinggal tanah kuburan saja yang masih bisa diagunkan. Semoga tidak seperti itu.Tapi jangan dikorupsi terus donk. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS