Hutang

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis

Fauzi Azis

KATA ini pendek, singkat tapi hampir semua kita, pribadi, anak-anak, remaja, orang dewasa, laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, perusahaan sampai negara sekalipun, hampir tak ada yang tak kenal dengan kata hutang. Semuanya sangat menggandrungi kata hutang tersebut. Mungkin bisa jadi dapat mengalahkan kata love, cinta dan sayang.

Bahkan kata padanannya, yaitu piutang di telinga kita tidak setenar kalau kita mendengar kata hutang. Luar biasa dia si hutang ini. Saking luar biasanya, gara-gara soal hutang, orang bisa masuk bui, gara-gara hutang perusahaan bisa dinyatakan pailit dan gara-gara hutang, negara bisa bangkrut. Gesek berarti hutang. Tapi kalau kita berpiutang, rasanya tidak pernah ada yang populer karena mungkin dianggap biasa-biasa saja.

Tapi begitu muncul tentang fenomena hutang, topik ini bisa dibahas dimana-mana. Dari seminar yang paling kecil sampai forum antarnegara G-20, G-8, G-77, IMF, World Bank, ADB, dan lain-lain. Rasanya tidak ada yang berseminar membahas tentang isu piutang. G-G-G tadi, IMF, World Bank, ADB, dan lain-lain tidak pernah berkumpul membahas topik tentang piutang. Kalau demikian halnya, jangan-jangan berpiutang itu adalah tindakan yang dianggap baik dan bukan sesuatu yang aneh atau menakutkan.

Tapi kalau hutang bisa dianggap suatu tindakan yang patut dicurigai, diawasi, karena mungkin dianggap tidak baik (meskipun banyak yang mencintainya) dan mengerikan, sehingga perlu diwaspadai dan dicermati. Yang pasti, ternyata semua orang, semua perusahaan dan semua negara “terlibat” secara langsung soal berhutang ini.

Amerika Serikat negara kaya, adidaya lagi, ternyata hutangnya telah mencapai US$ 14,3 triliun dan dari jumlah itu, US$ 9,7 triliun berhutang kepada asing termasuk Cina, sedangkan sisanya dipegang oleh social trust milik Amerika. Mau dibayar pakai apa hutang sebesar itu, bukankah kalau demikian negara segede Amerika Serikat telah “tergadaikan”?

Yunani, hutangnya telah mencapai tahap SOS. Negara ini bisa bangkrut. Nilai hutangnya 340 miliar Euro, telah mencapai 150% dari PDB Yunani. Dengan jumlah penduduk sekitar 11,3 juta jiwa, berarti tiap penduduknya memikul beban hutang negaranya 30.000 Euro atau sekitar Rp 366 juta/jiwa.

***

Negara kita juga gemar berhutang. Obligasi-obligasi negara sudah berseri-seri diterbitkan, baik dalam denominasi rupiah maupun dalam denominasi mata uang asing. Kalau tak terkelola dengan baik, hutang negeri ini bisa jadi malapetaka juga. Di balik ini semua tentu ada pelajaran sangat berharga bagi kita semua, baik sebagai pribadi, perusahaan maupun negara dalam soal hutang berhutang tadi.

Pertama, prinsip hutang harus dibayar dan jika tidak segera dibayar, akan ada penghitungan bunga yang harus ditanggung. Semakin menunda dan menunda pembayaran hutang, maka hutang bukan tambah mengecil, tapi tambah besar karena beban bunganya menjadi berbunga bunga.

Semakin membesar hutangnya, pasti makin membuat “kekayaannya” makin menciut dan lama-lama akan habis alias bangkrut. Karena itu, sikap yang paling baik adalah tidak berhutang dan kalau terpaksa berhutang, jangan kemaruk, dikit-dikit berhutang. Jadi harus terkelola secara ketat dan disiplin dalam hal hutang ini.

Kedua, sistem ekonomi yang dianut semua negara di dunia jangan-jangan ada yang salah. Masak hutang menjadi salah satu instrumen pembiayaan? Harusnya yang menjadi mainstream-nya adalah menabung sebagai sarana untuk berinvestasi, bukan berhutang. Menabung mempunyai nilai edukasi tinggi dibanding berhutang.

Dengan menabung berarti mendidik berhemat, mendidik orang berkarya dan berprestasi dan bekerja keras karena dengan bekerja keras, pendapatan akan diperolehnya dan potensi menabung menjadi terbuka. Potensi menabung yang terkumpul dalam jumlah besar, maka kegiatan investasi akan dapat dibiayai.

Lain halnya kalau budaya berhutang yang berkembang, nilai edukasinya menjadi tidak produktif, boros, etos kerja tidak tumbuh dan cenderung mendorong perilaku “ngemplang” dan malas untuk mengembalikan hutang. Ketiga, kebiasaan berhutang tidak salah, tapi kebiasaan menabung jauh lebih benar.

***

Ekonomi produktif jauh lebih berkembang kalau padanannya yang digunakan soal pembiayaan yang diperlukan bersumber dari tabungan, bukan dari berhutang. Lembaga keuangan seperti perbankan harusnya tidak berfungsi sebagai lembaga pemberi pinjaman yang notabene adalah hutang.

Yang benar adalah bank sebagai lembaga pengelola tabungan dan pada saat tabungan tersebut akan dipakai para penabungnya untuk kegiatan yang bersifat produktif seperti biaya usaha dan pendidikan, maka bank bersangkutan harus mengeluarkannya dana tersebut sesuai kebutuhannya.

Tentu tidak dikenakan bunga kecuali hanya biaya administrasi perbankan saja sebagai akibat para penabung menyimpan uangnya di bank. Biaya administrasi tersebut sekaligus sudah meng-cover biaya gaji dan overhead cost lainnya bagi bank bersangkutan.

Konsep ini sejatinya bermakna fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi, bukan “pedagang” uang yang berorientasi profit, tapi seharusnya berorientasi pembangunan.

Para penabungnya pun pada dasarnya hanya diperuntukkan bagi mereka yang berusaha produktif termasuk calon wirausaha baru, bukan para penabung yang hanya ingin melipatgandakan kekayaannya.

Pemerintah dapat saja menempatkan dananya asal dipergunakan untuk mendukung kegiatan pembangunan sektor produktif. Pada sisi lain, kalau lembaga keuangan ada yang berorientasi dagang/mencari untung, maka juga tidak dilarang kehadiranya. Tapi lembaga semacam ini tidak bisa disebut lembaga intermediasi melainkan lembaga keuangan komersial. Pinjaman untuk keperluan konsumtif dilakukan oleh lembaga keuangan semacam ini (commercial bank).

Para penabung yang tujuannya hanya ingin melipatgandakan kekayaannya diarahkan untuk menabung di bank komersial tadi atau ke instrumen pasar uang dan pasar modal. Yang terjadi di republik ini campur aduk antara untuk kepentingan produktif, konsumtif, bahkan atau “spekulatif” berada dalam satu sistem. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS