Impor Lagi-Impor Lagi

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis

Fauzi Azis

BEGITU terjadi kelangkaan atas pasokan suatu barang, maka dengan alasan agar tidak menimbulkan efek inflasi, pemerintah mengambil sikap pragmatis bahwa kita perlu mengimpor sekian ton beras, jagung, kedelai, daging, garam, gula dan lain-lain.

Tapi begitu akibat dari adanya impor yang membengkak, maka pada saat yang lain dikeluarkan suatu release yang menyatakan bahwa kita perlu waspadai posisi neraca perdagangan nasional rawan dan berpotensi defisit.

Pada saat yang sama, begitu kondisinya mencekam semangat nasionalismenya bangkit dan release yang muncul adalah kontrol impor, kendalikan impor, awasi impor, sikat penyelundupan, gunakan produk buatan dalam negeri dan sebagainya.

Gambaran ini menunjukkan bahwa pendekatan pragmatisme dalam penyelenggaraan kebijakan publik di bidang ekonomi mudah sekali kita kenali di lapangan. Semangat nasionalisme ekonomi seperti itu tentu seratus persen setuju. Impor dilakukan juga setuju, impor perlu dibatasi sangat setuju, menggunakan produk lokal lebih dari setuju.

Tapi lepas dari itu semua, ada hal mendasar yang patut menjadi catatan, yakni, pertama, semua itu terjadi karena kita tidak memilki semacam doktrin atau semacam idiologi ekonomi yang disepakati bersama diantara para pemangku kepentingan negara dan bangsa. Arsitektur ekonominya nggak memilki ciri-ciri yang khusus ala Indonesia, bandingkan dengan China, aura arsitektur ekonominya dapat kita kenali.

Kedua, akibat tidak adanya doktrin ekonomi yang disepakati secara politis oleh para pemangku kepentingan tadi, maka tidak heran kalau format dan postur kebijakan ekonomi yang dibangun menjadi tidak menghasilkan bangunan struktur ekonomi yang kuat terutama disisi mikronya/sektornya.

Manajemen pembangunan ekonomi tidak solid dan tidak terkelola dengan baik kecuali di sektor manajemen kebijakan ekonomi makro. Akibatnya, kita semua tahu bahwa pertumbuhan sektor tradable Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan sektor non tradabelnya (sektor tradable hanya tumbuh di kisaran 3-4%, sementara itu sektor non tradablenya bisa tumbuh 7-8%).

Jangan heran kalau kemudian struktur neraca pembayaran nasional menjadi sangat rentan setiap terjadi gejolak, baik internal maupun eksternal. Neraca barang rentan, neraca jasa rentan, neraca modal juga rentan. Kita ingin hidup seribu tahun lagi, kita ingin menjadi bangsa yang digdaya di bidang ekonomi karena secara potensial kita sangat bisa untuk menjadi bangsa yang besar dan digdaya secara ekonomi.

Oleh karena itu, mari kita lakukan time out sejenak guna berkonsolidasi untuk merekonstruksi kembali tatanan ekonomi nasional agar berstruktur kuat dan mensejahterakan serta memakmuran kita bersama. Pragmatisme dalam menyusun dan menetapkan kebijakan publik di bidang ekonomi sebaiknya tidak dilakukan seperti yang sering kita lihat selama ini, karena hampir pasti tidak akan menghasilkan efek ganda apa-apa.

Kebijakan publik yang kredibel adalah tidak bersifat fragmentatif, tapi harus komprehensif dan kondusif agar hasilnya bisa menciptakan efek pengganda yang optimal dan bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai pengharapan, maka sebuah catatan kecil yang dapat diungkapkan adalah, pastikan nasionalisme ekonomi seperti apa yang perlu dibangun.

Dan rasanya ini perlu ada karena pasal 33 UUD 1945 mengamanatkannya. Berdasarkan platform nasionalisme ekonomi yang telah disepakati dan dituangkan ke dalam produk konstitusi ekonomi negara, maka seluruh rangkaian kebijakan ekonominya harus mengacu pada semangat konstitusi ekonomi tersebut, siapapun rezim yang berkuasa di negeri ini.

Yang pasti secara sederhana ekonomi itu hanya berbicara soal investasi, belanja (rumah tangga dan negara), ekspor dan impor. Dan ketika dalam formulanya kita baca menjadi Y=I+C+G+ (X-M), maka berarti kita mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat berharga, yaitu bahwa variable M(impor) harus dapat dikendalikan dan tujuannya jelas yakni agar jangan sampai terjadi negara dalam mengelola ekonominya tidak defisit, tetapi harus mengasilkan surplus.

Karena itu jangan beragumentasi dengan semangat pragmatisme sempit dalam mengelola kebijakan ekonomi, sehingga tidak mudah kita terjebak dengan semangat impor lagi-impor lagi, padahal ilmunya mengajarkan kendalikan impor.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS