Indonesia di Tengah Dunia dan Dunia di Indonesia

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis

Fauzi Azis

SELURUH warga negara Indonesia tampaknya layak bermimpi besar seperti judul tulisan ini. Memang, kedigdayaan sebuah negara/bangsa ukurannya yang paling universal adalah jika bangsa itu mampu mewujudkan dirinya sebagai sebuah negara yang digdaya di dunia dan digdaya di negerinya sendiri, meskipun dunia lain hadir ditengah-tengahnya.

Inilah sebenarnya esensi kehidupan di sebuah negara/bangsa pada zaman globalisasi. Bagi Indonesia, cita-cita seperti itu sesungguhnya sudah ada dari dahulu yang oleh para pendirinya dituangkan dalam pembukaan UUD 1945.

Pada zaman Bung Karno, kita mengenal Progam Berdikari. Di zaman orde baru di bawah kepemimpinan Pak Harto, kita mengenal progam pembangunan jangka panjang yang dituangkan dalam GBHN yang kesemuanya dimaksudkan agar Indonesia menjadi bangsa dan negara yang besar.

Demikian pula di zaman reformasi pada kepemimpinan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY, cita-cita luhur yang seperti itu tetap melekat dalam mainstream untuk membangun masa depan negeri ini yang digdaya dan rencana strategiknya dituangkan dalam Undang-undang No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025.

Semua rezim pada dasarnya mimpinya sama, yaitu seperti apa yang tertulis dalam judul tulisan ini: Indonesia di Tengah Dunia dan Dunia di Indonesia. Rasanya clear kalau mimpinya seperti itu dan sah secara konstitusi. Mimpi itu bukan miliknya orang seorang atau sekelompok elite, tapi milik kita bersama sebagai bangsa.

Mewujudkan mimpi tersebut harus konsisten dan terkelola dengan penuh kesungguhan, beradab, bertanggung jawab dan tidak biadab. Koridornya juga clear dilihat dari prespektif NKRI dan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Apa buktinya bahwa bangsa ini telah memiliki cita-cita yang maha besar seperti itu? Baca lagi dokumen sejarah dari zaman Majapahit hingga zaman sekarang.

Yang menjadi masalah bagi bangsa ini dan sering terjadi apa yang dibaca dengan apa yang dikerjakan suka berbeda baik disengaja ataupun tidak. Suka dipleset-plesetkan untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Apalagi kalau interesnya terhalangi oleh cita-cita luhur tadi, maka dicari-cari jalan lain dengan membuat kebijakan yang boleh jadi berlawanan dengan tema besarnya, meskipun kadang-kadang dibungkus rapi dengan kemasan sesuai dengan semangat nasionalisme.

Kita itu belum semuanya bisa menjadi warga negara yang baik, para elit politiknya juga belum semua hebat dan berkualitas untuk secara sungguh-sungguh membangun bangsa dan negara ini. Moral dan etikanya masih amburadul, sehingga orientasi berfikir dan bertindaknya cekak dan pragmatis.

Just du-it, not just do it. Akibatnya hampir tidak ada yang berfikir dan bertindak apakah segala bentuk kebijakan dan progam yang dijalankannya mengarah kepada tercapainya cita-cita luhur tadi atau malah menyimpang jauh dari yang diharapkan. Akibat lebih jauhnya, bangsa ini banyak mengalami ketertinggalan dibanding bangsa lain di dunia, seperti terkesan nggak pernah membangun padahal anggaran dari tahun ke tahun terus meningkat.

Dikasih gelar emerging market, calon warga BRIC baru, dikasih hadiah invesment grade, hampir nggak ada yang perduli. Kegiatan pembangunan yang bersifat business as usual banyak dijumpai di mana-mana yang pada waktu direncanakan tentunya visi dan misinya dirumuskan dengan amat hebatnya.

Jadi seperti yang telah sering dikemukakan banyak kalangan, tidaklah salah bahwa negara ini punya problem besar, yaitu pandai dan cerdas membuat perancanaan dan strategi, tetapi tak pandai menjalankan rencana dan strategi tersebut di lapangan. Kalau stigma ini terjadi, maka tak ubahnya dengan sebuah kesebelasan yang sebelum pertandingan dimulai pelatih telah membuat strategi dan taktik permainan untuk menang dalam pertandingan, tetapi di lapangan semua buyar karena para pemainnya tak bisa melaksankan instruksi pelatihnya.

Ini terjadi bisa karena nervus atau sebetulnya banyak pihak lain yang berkepentingan dengan pertandingan tersebut. Bisa ada orang lain berlagak seperti pelatih dan merasa lebih hebat atau ada gambling sehingga seharusnya pertandingan itu bisa dimenangkan tapi berujung pada kekalahan dan ini terjadi karena banyak pihak yang bercampur dari yang mulia sampai yang tidak mulia.

Apapun alasannya hal ini dapat menjadi salah faktor penghambat jalannya roda pembangunan yang cita-citanya amat luhur. Di lapangan, kita lihat sendiri akibatnya. Setelah sektor energi dan pangan terpuruk, kita baru bisa bisa ngomong dunia ada di Indonesia! belum bisa bicara Indonesia ada di dunia dengan industri pangan dan energi. Demikian pula sektor-sektor yang lain.

Akibatnya kita memiliki problem, semakin menipisnya surplus neraca pembayaran, bahkan sudah mulai defisit, meskipun nilainya tidak besar. Pertanyaannya, bisakah cita-cita untuk mewujudkan Indonesia di tengah dunia, dunia di Indonesia? Jawabnya harus bisa. Kalau tidak, berarti bangsa ini akan terjajah kembali, baik secara ekonomi, politik maupun budaya.

Menjadi tidak ada maknanya apa-apa ketika kita berbicara tentang kedaulatan dan tentang NKRI, karena hanya bisa menjadi bangsa kuli, bangsa buruhnya negara lain. Maaf seribu maaf bukan bermaksud meremehkan dan tidak percaya diri terhadap bangsanya sendiri. Tapi kalau realitas itu ada, maka harus dikoreksi.

Kita harus berani berkata jujur bahwa memang di banyak hal, kita kalah dengan bangsa lain meskipun negeri ini kaya. Yang masih lemah kita perbaiki, kita lindungi dan sambil diberdayakan, yang kuat kita kelola dengan baik. Seluruh sumber daya kita kerahkan, dikonsolidasikan dan dikelola dengan benar.

Yang akan kita raih sebenarnya adalah bagaimana kita saling memberikan manfaat diantara bangsa-bangsa di dunia, bukan soal stigma kalah dan menang. Indonesia di tengah dunia dan dunia di Indonesia yang dimaksud adalah dalam rangka mewujudkan spirit itu, yakni saling memberikan manfaat. Inilah yang akan membawa keberkahan dan kedamaian di dunia. ***

CATEGORIES
TAGS