Indonesia Menghadapi Disintegrasi Kebijakan dan Program

Loading

sihabudin_indonesia-0k

Oleh: Fauzi Aziz

INI bukan anekdot dan bukan pula mencari-cari sensasi pikiran atau pendapat. Judul ini adalah fakta. Mau bukti, sangat mudah dikumpulkan, yakni kita selalu disuguhi berbagai permasalahan yang pokok pangkalnya tidak ada sinergi, sinkronisasi, harmonisasi dan koordinasi. Fakta ini clear. Indonesia memang mempunyai masalah disitu.

Indonesia tatkala dirinya telah menyatakan ekonominya terintegrasi dengan ekonomi regional dan global, kenyataannya Indonesia justru menghadapi ancaman “Disintegrasi Dalam Kebijakan dan Program”. Kondisi ini menjadi paradoks. Dan anehnya, hingga kini belum bisa dilepaskan carut marutnya disaat kita sibuk membahas soal konektifitas dan sibuk membahas tentang pentingnya networking economy dan bahkan sharing economy.

Ekonomi Indonesia akan bangkit, jika pemerintah dan parlemen bisa mengatasi masalah “Disintegrasi Kebijakan dan Program” tersebut. Disintegrasi pasti menjadi ancaman dan kalau tidak diatasi, Indonesia dapat dikatakan tidak berhasil mengembangkan kebijakannya dengan baik.

Akibatnya bisa dijawab secara terukur. Pertama, in-efisiensi menjadi ancaman paling nyata dan kita bisa lihat dan rasakan, yakni penggunaan APBN/APBD masih boros. Kedua, intensitas rapat- rapat koordinasi, sinkronisasi dan sinergi kebijakan dan program sangat tinggi dari level atas sampai level bawah, yang hasilnya tidak terjadi harmonisasi karena memang tidak bisa dipadukan karena masing-masing sudah pegang gembok, pegang anggaran dan sebagainya.

Ketiga, ekonomi dibangun dengan biaya yang mahal, sehingga daya saing ekonomi menjadi ancaman utama, manakala Indonesia harus berlaga dalam perdagangan dunia yang tingkat persaingannya telah memasuki tahap hyper competition. Kelima, dapat dikatakan Indonesia miskin memiliki kebijakan berkualitas. Akibatnya juga bisa dibuktikan bahwa banyak kebijakan tidak dapat diimplementasikan di lapangan, sehingga kebijakan tersebut menjadi “mangkrak” dan problem- problem ekonomi dan bisnis muncul secara berulang.

Momen-momen penting terlewatkan begitu saja dan kesempatan-kesempatan baik juga berlalu terbawa arah angin, sehingga perubahan terjadi tidak signifikan. Fenomena ini akan cenderung terjadi berulang. Setiap terjadi pergantian rezim kabinet selalu yang diumumkan dan dijanjikan adalah bahwa pemerintah baru akan memperbaiki koordinasi, sinkronisasi dan sinergi kebijakan dan program secara lintas sektor dan lintas wilayah.

Adanya rencana pemerintah untuk mengubah pendekatan dalam pembuatan kebijakan ekonomi yang Menko Perekonomian mengatakan sebagai pendekatan One Map one Policy adalah sebuah gagasan baik. Dengan pendekatan ini, kita harapkan disintegrasi kebijakan dan program dapat diatasi.

Penulis berpendapat bahwa pendekatan tersebut harus bersifat top down. Artinya secara idial sistem tersebut hanya ada satu Undang-undang, satu Peraturan Pemerintah, satu Perpres, satu Perda Propinsi/kabupaten/kota. Para menteri/gubernur/bupati/walikota adalah pelaksana kebijakan dan program.

Mereka hanya boleh menyusun APBN/APBD yang programnya disebut secara eksplisit yang ditetapkan dalam Perpres. Di luar itu, tidak dialokasikan anggarannya. Langkah ini adalah merupakan revolusi kebijakan dan program yang bagi Indonesia tindakan ini bersifat mendesak karena Indonesia harus bisa segera keluar dari belenggu sekat-sekat kekuasaan yang menjerat diri sendiri sehingga langkah kita untuk berderap menuju modernitas (marching to modernity) bisa berjalan tanpa ada lagi hambatan yang berarti. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS