Site icon TubasMedia.com

Katanya Industri Farmasi Nasional Diupayakan Mandiri, Kapan ?

Loading

Oleh; Sabar Hutasoit

 

SEDIKITNYA 95 persen bahan baku obat masih harus diimpor oleh Indonesia. Artinya, ketergantungan industri farmasi nasional terhadap bahan baku impor masih cukup tinggi. Industri obat di Indonesia baru akan bisa berproduksi jika pengiriman bahan bakunya dari luar negeri berjalan lancar. Tentu saja ini menggerus devisa negara. Boros!

Bagi Presiden Jokowi, keadaan ini sangat memprihatinkan. Masa di negara yang kaya akan hayati, baik di darat maupun di lautan, masih harus mengimpor bahan baku industri obat.

Hal ini jelas memboroskan devisa negara, menambah defisit neraca transaksi berjalan dan membuat industri farmasi dalam negeri tidak bisa tumbuh dengan baik.

Lalu quo vadis industri farmasi nasional kita, jika terus menerus mengandalkan bahan impor. Apanya lagi yang diandalkan dan dibanggakan ? Wong 95 persen bahan bakunya harus didatangkan dari luar negeri.

Keadaan yang sangat memprihatinkan ini bukannya terjadi satu dua tahun belakang ini. Tidak! Tapi sudah terjadi sejak zaman orde baru. Kalau demikian apa saja yang dikerjakan sektor industri farmasi dan pihak yang berkompeten selama ini, paling tidak untuk memperkecil persentase importasi bahan bakunya? Masa sejak zaman orde baru importasinya 95 persen dan sekarang-pun angka itu tidak  berubah.

Tapi baru-baru ini kalangan Kementerian Perindustrian dengan penuh keyakinan berkata dalam waktu dekat, industri farmasi nasional akan tampil mandiri.

Kementerian Perindustrian mengharapkan transformasi Industri 4.0 mampu membuat sektor farmasi nasional lebih kompetitif. Industri yang sudah bertransformasi digital akan lebih produktif, mengurangi biaya operasional, lebih efektif dan membuat harga produk akan menjadi lebih kompetitif.

Menambah

Langkah lain, Kemenperin telah pula menambahkan sektor industri farmasi ke dalam program prioritas pengembangan Making Indonesia 4.0. Hal ini sebagai upaya konkret untuk segera mewujudkan Indonesia yang mandiri di sektor kesehatan.

Ada beberapa point lagi yang akan dan sedang dilakukan Kemenperin agar industri farmasi keluar dari zona prihatin tersebut. Namun, efektifkah itu, atau apakah itu hanya jargon politik saja ?

Untuk mendorong transformasi di sektor tersebut dikatakan pada 2019 dan 2020, Kemenperin juga telah melakukan asesmen Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0).

Selanjutnya, program dan kegiatan terkait industri 4.0 di sektor IKFT pada 2021 meliputi fasilitasi perusahaan industri kimia hilir dan farmasi dalam menerapkan Industri 4.0 melalui big data industri kimia hilir dan farmasi, readiness assessment penerapan industri 4.0 sektor industri kimia hilir dan farmasi, penyusunan model factory cell dan penerapan lean management

INDI 4.0 diharapkan mampu mendorong pengembangan sektor farmasi, dan kita mendorong sebanyak 32 perusahaan farmasi yang sedang dalam tahap persiapan INDI 4.0, sehingga proses produksi hingga distribusinya bisa jauh lebih efisien.

Dalam mengimplementasikan langkah-langkah strategis tersebut, Kemenperin juga terus berupaya bersinergi dengan para stakeholder yang bergerak pada industri farmasi.

Efektifkah?

Sekali lagi pertanyaan, efektifkah seluruh upaya diatas menghentikan importasi bahan baku industri farmasi sekaligus memandirikan industri farmasi nasional ? Kalau efektif, apa jaminannya ?

Sebagai catatan, salah satu cara agar impor bahan baku obat bisa ditekan adalah dengan mengkampanyekan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI). Namun OMAI belum dapat dijadikan obat rujukan JKN karena belum tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 54 Tahun 2018.

Akibatnya, BPJS Kesehatan tidak meng-cover biaya pembelian obat-obatan herbal tersebut. Kondisi yang membuat pemanfaatan OMAI di dunia medis hanya sebatas pelengkap obat-obatan kimia.

Kalau tidak masuk JKN, tentu OMAI susah bersaing dengan obat berbahan baku impor. Harus ada ketegasan prioritaskan bahan baku obat dari negara sendiri.

Sesuai data, Indonesia memiliki biodiversitas alam terbanyak kedua di dunia setelah Brazil sehingga bahan baku herbal untuk membuat obat banyak tersedia. Namun sayang, pemanfaatan OMAI di Indonesia justru kalah dibandingkan negara-negara lain.

Di Jerman, 53% pemanfaatan obat-obatan di sana adalah berbahan herbal. Di China itu 30% dan Korea 20% sementara Indonesia tertinggal karena tidak difasilitasi penggunaannya.(penulis adalah seorang wartawan tinggal di Jakarta)

Exit mobile version