Industri Kecil Ditelantarkan

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

Ilustrasi

JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membebaskan lahan, belum diimbangi pengelolaan aset yang ada. Nasib pekerja Perkampungan Pusat Industri Kecil (PIK) pun belum jelas dan menunggu diputuskan.

Seperti diketahui, PIK Pulogadung, Jakarta Timur, seluas lebih dari 100 ha dan dihuni ratusan pengrajin industri kecil itu, kini seperti telantar karena tidak jelas pengelolaannya. Badan Pengelola Lingkungan Industri Pulogadung (BPLIP) yang berjasa membangun industri kecil itu justru dibubarkan.

Menurut anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta William Yani, pembubaran BPLIP bisa dinilai sebagai bukti tidak berpihaknya Pemprov pada industri kecil. Sebab, selama ini BPLIP membina pedagang kecil, sehingga sangat dibutuhkan di tengah situasi perekonomian warga yang sulit.

“Harusnya BPLIP jangan dibubarkan karena manfaatnya sangat dibutuhkan oleh industri kecil, khususnya di kawasan PIK Pulogadung,” tegasnya.

Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta Nurmansyah Lubis menyayangkan kinerja birokrat Pemprov yang terkesan lamban mengambil keputusan. “Padahal sudah berkali-kali dewan mendesak masalah itu dituntaskan,” ujar Nurmansyah.

Jika Pemprov DKI tidak menuntaskan masalah PIK dengan menentukan pilihan antara Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) penuh atau menjadi BUMD atau anak perusahaan BUMD, lanjut Nurmansyah, aset berupa lahan berpotensi raib.

“Saat ini, PIK itu seperti status quo, karena tidak ada pengelola, tidak ada monitor kerja sama dengan pihak ketiga serta perpanjangan perjanjian sewa menyewa. Karyawan yang sekarang pun statusnya tidak jelas,” urainya.

Terkait masalah ketidakjelasan status karyawan non Pegawai Negeri Sipil (PNS), Nurman mendesak Gubernur Fauzi Bowo segera bertindak menetapkan status kepegawaian mereka.

“Jika tidak diperlukan lagi, lebih baik karyawan di-PHK dan dibayar pesangonnya sesuai aturan yang berlaku,” sarannya.
Menurut Nurmansyah, salah satu solusi untuk mengakomodir karyawan BPLIP adalah dengan menjadikan PIK sebagai BLUD penuh. Hal ini karena mereka sudah puluhan tahun mengabdi.

Seperti diketahui, kasus PIK berawal pada 2009, ketika Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Struktur Organisasi Baru pada 2008. Saat itu PIK Pulogadung tidak masuk dalam struktur baru.

Kemudian, keluarlah Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 959/2009, yang memasukkan PIK sebagai Unit Pelaksana Teknis Badan Layanan Umum Daerah (UPT BLUD), di bawah Dinas Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Perdagangan.

Namun UPT BLUD ini tidak berjalan mulus, karena pengelola sebelumnya, yaitu BPLIP belum dibubarkan. Ujung-ujungnya, pada 2011 terjadi dualisme kepemimpinan. Satu kepala UPT BLUD di bawah Dinas UKM dan satu pimpinan BPLIP yang juga diangkat dengan SK gubernur.

Masalah PIK yang nilai asetnya mencapai Rp 1 triliun itu mencapai puncaknya ketika gubernur membubarkan BPLIP melalui Pergub No.11 tahun 2012 yang ditandatangani Fauzi Bowo pada 7 Februari 2012.

Segera Diselesaikan

Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil DKI Jakarta Ratna Ningsih membenarkan pembubaran BPLIP dan pemberhentian karyawannya. Hal ini karena Pemprov DKI ingin mengikuti pola Badan Layanan Umum (BLU) Daerah.

“Dengan mengikuti pola BLU, kami berharap pembinaan usaha kecil bisa semakin baik dari sebelumnya,” katanya.

Berkaitan kisruh Perkampungan Industri Kecil (PIK) yang terjadi di Pulogadung, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta Sukri Bei mengaku prihatin. Dia menyayangkan nasib 76 karyawan BPLIP yang sudah dua bulan tidak mendapat gaji.

“Sebaiknya perlu segera penyelesaian status karyawan, apakah menjadi karyawan Unit Pelaksana Teknis Badan Layanan Umum Daerah (UPT BLUD), atau diberikan pesangon sesuai ketentuan,” ujar Sukri.

Namun, katanya, kewenangan itu bukan di BPKD, tetapi di Dinas UKM dan Perdagangan yang membawahi UPT bersangkutan.
Terkait rencana Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil yang akan segera membayar gaji karyawan eks BPLIP, kata Sukri, hal itu tidak ada masalah. Yang penting ada keputusan gubernur.

“Prinsipnya bisa, sepanjang penetapan pengganti gaji ditetapkan dengan keputusan gubernur juga,” ungkapnya.

Seorang karyawan BPLIP, Joice, mengungkapkan kekecewaannya. Status para karyawan yang bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS), akunya, membuat mereka ditelantarkan begitu saja. “Saya sangat menyayangkan pembubaran BPLIP ini,” ujarnya.

Padahal, lanjut Joice, mereka sudah bekerja belasan tahun di PIK, namun kini malah ditelantarkan. “Di-PHK tidak, sebagai karyawan tidak, tetapi disuruh bekerja seperti biasa. Ini kan aneh,” curhatnya. (sabar)

CATEGORIES
TAGS